Diskusi bersama Purna TKI dan Keluarga TKI
Memastikan Rakyat Memperoleh Hak Dasar
Sebagai upaya memahami permasalahan real Purna TKI dan anggota keluarga TKI, pada 08 Maret 2015, saya menemui dan berdiskusi dengan mereka di desa Barurejo, Siliragung, Banyuwangi dan Karangdoro, Tegalsari, Banyuwangi. Kedua desa tersebut merupakan salah satu kantong TKI. Terdapat 70 orang yang hadir pada diskusi tersebut.
Buat saya, menemui para purna TKI dan keluarga TKI itu sangat penting. Data yang tersedia di dinsosnakertrans Banyuwangi pada tahun 2011 ada 7.957 rakyat Banyuwangi yang menjadi TKI.
Berbagai keluhan dan harapan mereka sampaikan pada saya. Salah satu keluhan yang sangat melekat dalam ingatan saya adalah tidak diperbolehkannya anak purna TKI mengikuti ujian sekolah dasar dengan alasan karena tidak memiliki akte kelahiran.
Salah satu prosedur yang menjadi syarat anak dapat masuk sekolah, di banyak tempat adalah Akte kelahiran. Untuk mendapatkan akte, tentu memiliki syarat-syarat yang tidak semua orang dapat memenuhi syarat tersebut. Artinya, syarat itu bisa dipenuhi beberapa anak, dan tidak dapat dipenuhi anak lainnya, dan syarat semacam itu di luar kendali sang anak ataupun orang tua.
Dengan permasalahan semacam ini, maka perlu kebijakan tersendiri untuk anak-anak yang tidak mudah mendapatkan akta kelahiran, atau perlu dikaji ulang tentang sistem pencatatan kelahiran. Sebab inti dari sebuah kebijakan adalah supaya rakyat mendapatkan hak-hak dasarnya. Dalam kasus di atas yang perlu diperhatikan adalah subtansi dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang tertulis “Setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan.”
Terkait dengan masalah tersebut, saya akan bekerjasama dengan kementrian KPPPA untuk melindungi anak-anak TKI dan Purna TKI. Lebih spesifik lagi agar memenuhi hak-hak pendidikan mereka, dengan menyingkirkan yang menghambat, salah satunya adalah satu masalah prosedural ini yaitu akte kelahiran.
Sedangkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pengalaman bekerja di luar negeri adalah masih kurang maksimalnya pelatihan yang dilakukan PJTKI, sehingga berimbas pada kualitas kerja. Masalah lain, pengalaman tidak diberi waktu istirahat oleh sang majikan kondisi ini diperparah dengan belum maksimalnya pelayanan KBRI .
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, saya akan mendorong kemenaker mengatasi permasalahan ini dengan memperbaiki sistem pelayanan KBRI, memastikan jalur migrasi yang aman bagi tenaga kerja, akses mendapat pendampingan hukum serta akses finance literacy.