Kata-kata itu sering kali saya dengar dari kawan, saudara, caleg atau orang yang tidak saya kenal. Memang politik di Indonesia selalu identik dengan uang. Hanya yang memiliki uang saja yang akan mendapat stempel sebagai Anggota Dewan.
Pernah suatu saat saya mengobrol dengan salah satu caleg incumbent (petahana). Sebagai seorang junior, saya ingin menimba ilmu dari beliau, mulai dari ilmu untuk strategi kemenangan sampai ilmu untuk menghadapi masyarakat. Ternyata beliau menjawab dengan simple, “Yang dibutuhkan hanya uang untuk saksi-saksi di tiap TPS.” Saya yang berangkat dari kaum akademisi tentu tidak percaya kalau jawabannya hanya sesederhana itu, “Cuman itu kawan?” tanyaku tidak percaya. Dan dia mengangguk dengan mantap.
Persoalan ini menjadikan nyali saya ciut. Terlebih bila membaca disertasi dari Pramono Anung yang menganalisis kebutuhan biaya caleg sesuai profesinya masing-masing, hampir semuanya mendekati bahkan lebih dari jumlah milyaran.
Saya dan keluarga beberapa kali mendapat perlakuan tidak nyaman ketika mendatangi rumah seseorang, karena mereka tahu saya tidak memiliki uang. Pernah orang tua saya ditinggal pergi sama pemilik rumah karena menolak pencalegan saya. Pernah pula seorang alumni dari lembaga pendidikan keluarga kami dengan nada tegas bilang tidak mau mendukung kami. Bahkan saudara saya pernah secara terang-terangan bilang bahwa “Pemenang pemilu pasti yang memiliki uang.”
Tetangga dekat saya bahkan pernah meragukan saya dan membandingkan saya dengan caleg lain, “apa ya mungkin menang, lawong jelas-jelas dana dan massanya banyakan caleg lain?”. Alhamdulillah saya dikaruniai keluarga yang melihat sesuatu dari sisi positif, jadi menanggapi itu semua bukan dengan sikap mundur, tapi menjadikan semangat untuk membuktikan kepada mereka kalau kami mampu berjuang.
Kondisi ini sangat mempersulit caleg perempuan, sebab kebanyakan perempuan di Indonesia belum mandiri secara ekonomi. Mereka masih sangat tergantung dengan pemberian dari suaminya. Jadi ketika perempuan menjadi caleg dalam setiap pengeluaran dananya akan harus mendapat persetujuan dari suami, dan ini proses yang tidak mudah.Economy capital ini yang menjadikan perempuan sulit bersaing dengan caleg laki-laki, walaupun secara kualitas diri banyak perempuan yang hebat. Ada cerita salah satu caleg perempuan yang selama ini aktif mendampingi buruh tani di desa-desa, dia tidak pernah mengikuti kampanye terbuka, persoalannya simple, yakni dia tidak memiliki dana untuk sekedar iuran pelaksanaan acara, dan tentu saja dia tidak sanggup mengerahkan massa. Hal inilah yang menjadi salah satu keengganan banyak perempuan hebat tidak mau terjun ke ruang politik.
Dari persoalan ini, seharusnya partai memiliki perhatian kepada caleg-caleg perempuan yang berkualitas namun tidak ditopang dana yang cukup. Partai mungkin bisa menerapkan subsidi silang dengan memberikan support kepada caleg perempuan yang berkualitas, agar mereka bisa bersaing.