Titel yang membingungkan
Saya secara pribadi orang yang tidak ribet dengan segala julukan nama. Saya juga tidak suka memakai titel/gelar. Saya akan memakai titel kalau kebutuhannya adalah untuk akademik.
Lho, tapi di waktu pencalegan kok pake titel? Saat saya mengembalikan formulir pendaftaran caleg, nama saya hanya Nihayatul Wafiroh, tanpa embel-embel. Beberapa saat setelah itu Daftar Caleg Sementara (DCS) keluar. Ketika keluarga saya, teman-teman, dan masyarakat tahu nama saya, mereka pada protes, kok tidak ada titelnya sama sekali. “Kalau ada titel Hajjah-nya, orang akan semakin mantap kalau jenengan itu orang yang patut dipilih,” itu kata beberapa orang. Ada lagi yang berpendapat, unsur pendidikan harus ditonjolkan, jadi harus ada titelnya. “Biar kelihatan kalau jenengan bukan orang main-main.”
Saya sebenarnya sangat malas mengurus perubahan nama itu. Tapi karena semua mendesak, akhirnya saya terpaksa harus menelfon Lembaga Pemenangan Pemilu (LPP) DPP PKB untuk memberi embel-embel titel di nama saya. Jadilah Hj. Nihayatul Wafiroh, M.A. Sebenarnya titel S1 saya juga mau ditulis, jadi Hj. Nihayatul Wafiroh, S.Th.I., M.A., Duh duh… Kalah deh panjangnya kereta api. Untungnya saya bisa memberikan alasan yang tepat, bahwa kalau dalam dunia akademisi yang dipakai adalah titel yang paling tinggi atau paling terakhir.
Saya sendiri geli bila membaca nama caleg yang semua titelnya ditulis, sampe panjang banget. Belum lagi ada yang terang-terangan menulis di atribut kampanye “Calon Doktor Bidang …” Pasti kalau melihat tulisan-tulisan begitu saya tidak tahan untuk tidak tertawa. Bahkan saya pernah sampe sakit perut ketika ada seorang teman yang mengusulkan “Nik, tulis saja di atributmu, P.hD Candidate.” Bagi saya itu norak sekali. Disamping masyarakat jarang yang tahu apa itu P.hD, dan sebenarnya itu pengaruhnya hanya sedikit sekali kepada pemilih.
Ada kejadian-kejadian lucu terkait dengan titel. Suatu saat saya mengisi acara, ada dua ibu-ibu yang berbisik-bisik di samping saya. “Eh Bu, kok jenenge nduk nik enek MA, artine opo tho kuwi ?”, Ibu yang ditanya dengan percaya diri menjawab, “Oh MA kuwi artine Master Amerika.” Saya yang saat itu sedang memberi sambutan, harus berusaha keras untuk menahan ketawa.
Saya pernah bertemu dengan seseorang dan kami terlibat obrolan kecil. Sebut saja orang itu namanya A. “Oh Nama panjang jenengan, Hj. Nihayatul Wafiroh, MA,” ucap A sambil memegang stiker. Sayapun mengangguk tanda menyetujui. “Lho jenengan di Jogja ambil S2 ?” tanya A ke saya. “Saya ambil S3 di ICRS Jogja,” jawab saya sambil mikir, bukannya jelas-jelas titel saya sudah ada MA-nya. “Oh begitu, jadi MA ini titel untuk S2 nya ya neng??? Saya pikir itu singkatan Madrasah Aliyah.” Gubrakkk!