Perang Batin
Mengatakan “IYA” untuk masuk ke partai politik bukan pekerjaan sederhana buat saya. Prosesnya sudah sangat lama, dan pergolakan batinnya sangat hebat. Sekedar cerita ke belakang, pada tahun 2004 saat saya lulus dari UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, saya sempat dilamar partai untuk menjadi caleg. Tapi saya tidak mau. Saat itu saya merasa tidak memiliki apapun, walaupun saya memiliki potensi massa dari unsur pengaruh keluarga. Tapi saya tidak mau orang memilih saya hanya karena keluarga besar saya saja, tanpa saya sendiri memiliki kualitas yang bagus untuk mengemban amanah.
Tahun 2008 menjelang pemilu 2009, ada tiga partai yang menghubungi saya dan keluarga untuk meminta hal yang sama kepada saya. Saat itu saya masih berada di Hawaii untuk menyelesaikan S2 saya di University of Hawaii at Manoa. Bahkan salah satu petinggi partai sampai bilang “Anda tidak perlu pulang untuk kampanye, biar Ibu anda saja yang kampanye sudah cukup.” Memang saat itu saya baru akan selesai dan pulang ke Indonesia pada bulan Mei 2009 yang notabene itu sudah satu bulan sesudah masa pemilu. Dan lagi-lagi saya harus mengatakan tidak untuk lamaran ini. Pertimbangan saya menolak juga sama seperti sebelumnya.
Sebelum saya pulang ke Indonesia, saya sudah mendapat jawaban dari aplikasi saya untuk S3 di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) di Yogyakarta. Dengan banyak pertimbangan, saya memilih kuliah S3 di dalam negeri. Jadi dua bulan setelah saya sampai rumah, saya langsung ke Yogya untuk melanjutkan S3. Salah satu alasan kenapa saya memutuskan untuk langsung kuliah S3 adalah saya ingin menghindari desakan untuk bergabung di partai politik.
Selama saya kuliah, saya bekerja di banyak organisasi, saya kerja sebagai Program Executive Globethics.net, sebuah LSM internasional dari Jenewa yang focus pada penyediaan perpustakaan online. Saya pernah juga kerja di ACE sebagai program manajer, ini LSM local yang bergerak pada pemberdayaan pada masyarakat. Saya juga pernah diminta untuk menjadi Program Officer di CIDA (LSM dari Kanada) untuk program pengembangan pemberdayaan masyarakat di universitas. Saya juga beberapa kali diminta menjadi konsultan di beberapa LSM internasional dan saya aktif menjadi nara sumber untuk topik pendidikan, pemberdayaan perempuan, ataupun kesehatan reproduksi. Ternyata pergulatan saya dalam semua kegiatan tersebut menumbuhkan kesadaran lain bahwa memang harus ada orang-orang yang benar-benar paham persoalan masyarakat di tingkat pengambil kebijakan.
Di sisi lain ternyata ‘pelarian’ saya ini tidak berjalan dengan sukses juga. Karena walaupun saya sudah di Yogya, tawaran dan rayuan agar saya masuk ke politik tetap ada. Hingga pada titik tertentu, pada awal tahun 2013, dengan berbagai pertimbangan dan desakan dari banyak pihak, saya akhirnya harus luluh dan mengatakan “yes” untuk masuk ke politik.
Masa dua bulan pertama setelah saya memutuskan untuk mengikuti proses menjadi calon anggota legislatif menjadi saat yang paling sulit bagi saya. Hampir tiap malam saya menangis, kadang-kadang tengah malam saya sampai harus mengontak ibu saya. Jujur, politik adalah dunia yang selama ini saya hindari, di samping itu, ada impian yang selama ini sudah saya bangun. Saya bermimpi untuk bisa segera selesai kuliah S3 dan melanjutkan pengabdian saya di masyarakat. Ketika masuk ke politik, ini jelas-jelas memporak-porandakan impian yang saya tata step by step. Saya menangisi hal ini.
Persoalan lain yang membuat saya menangis adalah bayangan tentang kejamnya dunia politik. Terkadang seberapa hati-hatinya seseorang di dunia politik Indonesia, tapi kalau sedikit saja lengah, bisa benar-benar tergelincir. Jebakan untuk menjerumuskan seseorang ada di mana-mana. Lihat saja kasus Antasari Azhar mantan ketua KPK, atau almarhum Mulyana. Ketika mengingat hal itu, yang terlintas di benak saya, wajah Ibu, wajah Abah, dan wajah seluruh masyarakat saya. Betapa saya akan bisa mengecewakan mereka bila hal-hal yang di luar kontrol saya terjadi. Ini membuat saya sangat ketakutan.
Butuh waktu yang panjang untuk bisa mengendalikan dan menyeimbangkan diri. Usaha lahir-batin saya lakukan untuk bisa meyakinkan diri bahwa seluruh hal pasti punya resiko. Doa dan ridho orang tua saya menjadi penenang yang paling ampuh dalam situasi seperti ini. Alhamdulillah, walaupun dalam posisi belum benar-benar berdiri tegak, saya sudah bisa menatap masa depan dan bilang “IYA, SAYA SIAP”.