Ini alasan-alasan saya mendukung Jokowi:
1. Jauh sebelum saya memulai kampanye, ketika Jokowi digadang-gadang jadi presiden, saya sudah memutuskan, kalaupun nanti capresnya hanya dua, antara Prabowo dan Jokowi, saya memilih Jokowi. Jadi pilihan saya ini jauh sebelum pileg (pemilu legislatif) dan jauh sebelum PKB memutuskan. Makanya saat masa diskusi koalisi, saya sangat berdoa agar PKB ke Jokowi, biar kalau saya kampanye tidak bertentangan dengan hati nurani. Alasan-alasannya saya sampaikan di bawah ini.
2. Jokowi terbukti bekerja. Jokowi menjadi walikota surakarta 1,5 periode. Waktu pemilihan walikota tahap dua, dia memperoleh suara lebih dari 90%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat benar-benar tahu kinerja Jokowi. Masyarakat solo merasakan perubahan ketika Jokowi memimpin. Pengalaman ini menjadi modal dia melangkah. Jadi dia bukan hanya janji saja, tapi sudah berdasarkan pengalaman. Ini bisa dilihat dari debat Capres-cawapres dua-tiga kali terakhir, Jokowi lebih mengedepankan gerakan taktis penyelesaian masalah, seperti merubah birokrasi/sistem, karena dia sudah tahu persoalan di lapangan. Yang dia ungkapkan bukan lagi sesuatu yang sifatnya general, mengada-ada dan melangit. Memang mungkin secara retorika dia tidak sebagus lainnya, tapi bangsa ini tidak lagi butuh orang yang hanya bisa ngomong, tapi bisa bekerja.
3. Jokowi adalah pengusaha yang mulai dari nol. Jadi dia merasakan betul jadi orang susah. Saat dia kecil, dia pernah empat kali numpang di rumah orang dan diusir, pernah tinggal di bantaran sungai dan diusir juga. Jadi dia menjadi kaya (pengusaha) dan menjadi seperti sekarang melalui proses yang tidak terjadi seketika. Pengalaman itu menjadi modal keberpihakan jokowi kepada masyarakat kecil.
4. Jokowi orangnya sederhana. Beberapa teman saya bersaksi pernah ketemu Jokowi di bandara atau pesawat (cerita-cerita ini juga beberapa kali beredar di media massa), Jokowi tidak memakai kelas bisnis/eksekutif ketika naik pesawat. Alasannya simpel, “ketika saya bepergian dengan uang saya sendiri sebagai pengusaha, saya akan memakai kelas eksekutif, tapi karena ini uang rakyat, jadi saya memakai kelas ekonomi.” Bagi saya ini luar biasa, saya mulai tahu bagaimana orang pemerintahan, contohnya anggota DPR, kalau bepergian dapat jatahnya kelas bisnis lho. Hayo sopo yang bisa nolak kelas bisnis? Hehehe, lawong dikasih kelas bisnis malah dia pake kelas ekonomi. Terus sekelas Jokowi naik mobilnya Innova, nah mobil Innova kan ya sama dengan mobil kita-kita kan? Hehehe…
5. Saya aktif digerakan untuk pemberdayaan masyarakat difabel (differently abled – berkemampuan beda) atau bahasa lain ‘orang cacat’ (saya tidak pernah menggunakan kata cacat sebenarnya). Nah sepanjang pengetahuan saya, pak Jokowi memperhatikan hal ini. Dia pernah seharian bersama kawan difabel saya mencoba angkutan umum di Jakarta, untuk melihat bagaimana kesulitan yang dihadapi teman-teman difabel untuk mengakses transportasi umum dan mencarikan jalan keluarnya. Ini menunjukkan keberpihakan jokowi pada teman2 difabel.
6. Kasus Pekan Raya jakarta (PRJ). Dulu PRJ ini hanya didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, dengan harga masuk arena plus harga stand sangat mahal. Nah, Jokowi membawa PRJ ke Monas, yang terbuka untuk masyarakat umum dan kecil, jadi mengembalikan PRJ ke rakyat.
7. Saya belajar dari sosok Ahmadinejad, seorang presiden ndeso, krempeng dari Iran. Secara fisik, beliau tidak kelihatan sosok yang bisa ditakuti musuh-musuhnya, tapi bagaimana dia berjuang untuk rakyat dan ketegasannya luar biasa sekali. Di samping itu, dia juga sederhana. Jadi intinya, bagi saya ukuran fisik tidak perlu saya persoalkan lagi. Pribadi saya sudah melampaui hanya urusan fisik. Dan Jokowi juga begitu. Dia kerempeng, tapi dia tegas. Dan sudah bukan jamannya lagi menyelesaikan masalah dengan modal badan yang gagah, karena menyelesaikan masalah harus mengedepankan negosiasi dan dialog. Kalau modal takut saja, di belakangnya hanya dendam, sama seperti cara penyelesaian masalah jaman Pak Harto dulu. Kalau Jokowi modalnya adalah dialog, negosiasi, dan persuasi, seperti ketika menyelesaikan masalah PKL Solo dan Tanah Abang.
8. Saya sebenarnya males bahas soal agama, tapi karena itu jadi sorotan akhir ini, akhirnya saya juga harus mengungkapkan walaupun ini tentu subjektif ya. Jokowi bukan dari keluarga pesantren, tapi dia dari keluarga islam yang taat. Bapak-ibunya haji, dia juga haji. Bahkan dia bisa ngimami sholat dengan bacaan suratnya wal’adiyah, bukan hanyaqulhu. Nah ini kalau bukan orang yang biasa sholat tentu sulit.
9. Soal keagamaan lagi, saya tidak bisa membayangkan bila yang menang calon lain, siapa yang akan jadi Menteri Agama? Bagi saya orang-orang Wahabi jauh lebih berbahaya daripada orang nasionalis. Kalau orang nasionalis tidak akan menghancurkan tradisi-tradisi ahlus sunah wal-jama’ah, kalau orang Wahabi? Pasti menghancurkannya. Oh ya, saya di Bondowoso menemukan buku untuk madrasah Aliyah ada materi pelajaran soal khilafah. Nah ini Kemenag yang dipimpin bukan orang Wahabi saja sudah begitu, apalagi kalau nanti yang memimpin orang Wahabi? Ingat, semboyan Negara kita adalah Bhinekka Tunggal Ika; hargai perbedaan. Dan saya percaya sekali NU itu adalah golongan yang paling elegan dan pluralis di Indonesia. Bahkan seorang teman Kristiani pernah bilang ke saya begini, “Indonesia punya ratusan suku bangsa, ribuan pulau, ratusan budaya, bermacam2 sekte agama, tapi Indonesia masih tetep damai jadi satu, itu karena ada NU. NU lah kelompok yang paling bisa menjaga perbedaan yang ada di Indonesia.” Kita bisa melihat sendiri bagaimana NU tidak pernah ngerusuhin orang2 lain. Coba bandingkan dengan orang Wahabi, diharamkan dll. Jadi bila orang NU yang mengatur negara ini, tentu harapan Indonesia lebih damai dalam hal beragama bisa terwujud. Toh kita mesti ingat kalau Indonesia ini bukan negara Islam, tapi negara Pancasila yang mayoritas penduduknya Muslim.
10. Ketika pak Jokowi menggandeng Jusuf Kalla (JK), saya semakin berteriak senang. Kenapa? Pak JK ini pengusaha dengan wawasan ekonomi mapan. Beliau sudah menjadi pejabat negara berulang kali tapi beliau tidak pernah terlibat korupsi. Jadi dia memang mengabdi menjadi pejabat, bukan untuk mencari uang, tapi untuk rakyat. JK sudah cukup uangnya dari usahanya selama ini. JK bukan tipe orang yang mau diatur, dan ini menjadi kontrol yang bagus, sehingga nantinya Jokowi tidak hanya manut saja ke Mega, JK juga bisa jd penyeimbang. Pak JK juga orang yang menyelesaikan masalah dengan persuasi dan memiliki pemahaman tentang kebhinekaan yang bagus. Saya punya teman, kepala sebuah koran nasional. Dia bilang saat diskusi untuk masalah Aceh, JK sampe tidur bertemankan laptop dan printer, karena dia mau terus update perkembangan diskusi di Helsinki. Dia mendapat gelar doktor kehormatan dari usaha perdamaiannya di Aceh dan Poso. JK juga adalah ketua PMI, saya ingat saat meletusnya Merapi tahun 2010 di Jogja. Waktu itu ada ribuan pengungsi di Stadiun Maguwoharjo dekat rumah saya. JK kebingungan saat melihat pengungsi belum makan, dan ekonomi Jogja lumpuh. Akhirnya JK memerintahkan seluruh perusahaan roti di Jogja untuk berproduksi seperti biasa, lalu JK memborong roti tersebut dan kemudian membagikannya kepada para pengungsi. Menurut saya ini adalah langkah yang luar biasa. Persoalan makan pengungsi tertangani, begitu juga ekonomi pembuat roti tidak mandeg. Nah, cara berpikir pengusaha yang cepat dalam mengambil keputusan ini menjadikan JK selalu cepat dalam menyelesaikan masalah, beda dengan cara berpikir prajurit-nya SBY, yakni menunggu perintah. Makanya waktu jaman SBY-JK, ada matahari kembar, karena JK tidak bisa mengikuti cara kerja SBY. Selain itu, JK juga Mukhtasar NU dan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia. Jadi menurut saya sudah komplit kombinasi JKW dan JK.
11. Ada alasan HAM dan alasan-alasan lain yang juga menjadi pertimbangan saya.
Semoga penjelasan saya ini bisa diterima. Memang di antara dua capres ini tidak ada yang sempurna, tapi paling tidak kita tetap harus memilih di antara keduanya yang tidak memiliki dosa sosial dan dosa sejarah yang parah, dan pilihan saya jatuh ke Jokowi.
Salam Dua Jari,
Nihayatul Wafiroh
Anggota Terpilih DPR-RI 2014-19
Jawa Timur III – Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo