Tulisan ini adalah perjalanan saya, Hj. Nihayatul Wafiroh, MA (Anggota DPR RI, FPKB, Dapil Jawa Timur III), selama menangani kasus Sugiayem. Proses dan perjuangan untuk mendapat kejelasan perawatan dan pemulangan Sugiayem hingga kini masih terus saya lakukan.
Dua minggu sebelum berangkat ke Taiwan, saya mendapat informasi bahwa ada TKW yang bernama Sugiayem yang berasal dari desa Karangdoro, kecamatan Tegalsari, Kabupaten Banyuwangi sedang di ruang ICU di RS Taiwan. Saya kemudian meminta tim yang berada di Banyuwangi untuk mencari informasi ini melalui keluarganya. Ibu dari Sugiayem juga dua kali datang ke rumah saya meminta agar dibantu untuk memulangkan Sugiayem. Saudaranya yang di Kalimantan dan juga di Taiwan juga menghubungi saya melalui telfon dengan permintaan yang sama.
Sebelum berangkat ke Taiwan, saya telah menghubungi Ibu Retno – Menteri Luar Negeri- untuk mendapatkan kontak orang-orang Kemenlu di Taiwan. Dari Ibu Retno saya mendapatkan kontak Bapak Arif, ketua KDEI di Taiwan. Lalu dari Ibu Rena (Dirjen Binapenta, Kemanaker) saya mendapat kontak Bapak Defril yang bertugas sebagai atase tenaga kerja di Taiwan.
Dari Bapak Arif dan Bapak Defril saya mendapat informasi bahwa beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, Ibu Sugiayem sempat datang ke KDEI dan menceritakan kalau telah kabur dari Majikannya, dengan alasan pekerjaan yang diberikan tidak sesuai dengan perjanjian awal. Saat itu Ibu Sugiayem meminta informasi ke KDEI bagaimana bisa pulang. Menurut Bapak Defril, Ibu Sugiayem telah diberikan informasi tentang beberapa hal yang perlu disiapkan bila hendak pulang. Namun jarak beberapa hari sesudahnya, Bapak Defril mendapat kabar dari Taoyuan General Hospital (RS Taoyuan) bahwa Ibu Sugiayem dirawat di RS tersebut.
Dalam hukum tenaga kerja di Taiwan, pekerja yang melarikan diri dari majikan tidak lagi mendapat cover kesehatan dan juga hak biaya untuk kepulangan. Karena hal inilah, Ibu Sugiayem tidak mendapatkan support biaya baik dari majikan maupun agen yang memberangkatkan.
Karena tidak ada biaya-biaya tersebut, sebelum berangkat saya menghubungi Bapak Hanif Dzakiri –Menteri Ketenagakerjaan-, Bapak Nusron Wahid –Kepala BNP2TKI- dan juga Ibu Retno –Menteri Luar negeri-. Dari beliau bertiga saya mendapat informasi bahwa karena status Ibu Sugiayem yang sudah kabur dari majikan maka posisinya bukan lagi dihitung sebagai pekerja, tapi warga negera Indonesia biasa (Civil), untuk itu sesuai numenklaturnya biaya berobat dan pemulangan Ibu Sugiayem berada di bawah tanggung jawab Kemenlu.
Untuk itu saya mendesak Ibu Retno memberikan kepastian untuk menanggung biaya pengobatan dan juga pemulangan. Menurut Ibu Retno, saat ini Kemenlu sedang kesusahan biaya, sebab beberapa waktu lalu baru mengeluarkan dana sangat banyak untuk memulangkan WNI dari Yaman. Oleh sebab itu Ibu Retno akan melihat kembali ketersediaan dana di kemenlu dan meminta saya untuk membantu mencarikan dana di Kemenaker, BNP2TKI dan Pemkab. Waktu itu saya masih mencoba manggut-manggut saja, walaupun sebenarnya ada yang tidak pas ketika Menlu meminta saya mencarikan dana, karena jelas-jelas itu tugas Menlu untuk bertanggungjawab dan menangani.
Ketika di Bandara Soekarno Hatta hendak menuju Taiwan, saya kembali mengirimkan pesan melalui WA kepada Bu Retno (komunikasi saya selama ini dengan para menteri melalui WA, karena kalau saya telfon langsung bisa jadi beliau-beliau sedang tidak bisa mengangkat telfon, kalau melalui WA bisa direspon ketika sudah free), saya mengabarkan bahwa kemenaker dan BNP2TKI tidak ada dana untuk itu dan lagi-lagi saya menekankan bahwa numenlaturnya di Kemenlu. Bu Retno menjawab kalau akan mencarikan sumber dananya, dan meminta data Sugiayem ke saya. Dari sini lagi-lagi saya merasa heran, kenapa Bu Retno tidak menghubungi staf dari kemenlu saja, terlebih menurut salinan data yang saya terima dari KDEI (Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia) di Taiwan, mereka telah mengirimkan surat resmi mengenai kondisi Sugiayem ini sejak tanggal 16 Juni 2015 kepada Menteri Perdagangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Kepala BNP2TKI. Jadi harusnya Kemenlu memiliki data ini. Namun akhirnya tanggal 24 Juni saya tetap memforward data yang saya miliki kepada email pribadi Ibu Retno.
Sehari setelah saya datang di Taipei, saya bertemu dengan Bapak Defril. Dari situ saya mendapat beberapa informasi rinci, yakni :
- Sugiayem pernah datang ke KDEI untuk mencari informasi pulang, dan dia posisinya sudah lari dari majikan. KDEI sudah memberikan informasi mengenai beberapa hal yang harus disiapkan untuk pulang.
- KDEI mendapat telfon beberapa hari sesudahnya kalau Sugiayem masuk RS.
- Di hari-hari pertama di RS, Sugiayem diletakkan di ruang perawatan biasa, kemudian karena kondisinya turun maka dipindah ke ruang ICU.
- RS hampir tiap hari mengontak KDEI untuk menanyakan siapa yang bertanggungjawab untuk biaya perawatan Sugiayem.
- Menurut pihak RS, biaya yang ada sekarang telah menghabiskan sekitar 380jt, dan tentu ini terus bertambah setiap hari.
- Bila dibawa pulang, membutuhkan biaya sekitar 250-300jt, karena harus membeli sekitar 10 kursi, untuk dijadikan tempat tidur, dan juga membawa peralatan serta dokter/perawat. Selain itu, kesulitan untuk mendapatkan maskapai yang mau menerbangkan.
Hari kedua saya di Taiwan, saya berkesempatan bertemu dengan Bapak Arif, Kepala KDEI Taiwan. Pada dasarnya menurut Bapak Arif, pihak KDEI menunggu instruksi dari Jakarta. Bila Jakarta lambat, maka KDEI juga lambat. Menurut dia, staf KDEI sudah secara rutin membesuk Sugiayem.
Saya baru bisa menjenguk Ibu Sugiayem di hari ketiga karena jadwal conference sangat padat. Jumat tanggal 26 Juni, saya ditemani Ibu Ledia Hanifa (DPR RI dari PKS), dengan diantarkan Bapak Nurman dari BNP2TKI dan Mas Hendri dari staf Lokal KDEI, pergi ke RS Taoyuan. Tetiba di sana, ketika melihat kawan-kawan dari KDEI saya tidak yakin mereka pernah mengunjungi Sugiayem, terutama setelah 2 minggu di ruang ICU, karena mereka terlihat kebingungan untuk menemukan ruangan tempat Sugiayem dirawat. Saya berusaha berpikir positif saja, mungkin selama ini yang ke RS bukan mereka, tapi orang lain.
Di ruang ICU yang bersih itu, saya ditemui oleh perawat dan dokter yang menangani. Saya bersyukur sekali mereka bisa berbahasa Inggris. Jadi saya bisa berkomunikasi langsung dengan mereka tanpa penerjemah.
Secara umum kondisi Sugiayem mulai membaik. Saat saya datang, paginya habis dicopot alat bantu pernafasan yang dimasukkan tenggorokan. Responnya sangat bagus. Ketika saya sapa, beliau melihat saya, kepalanya mengangguk dan air matanya pelan mengalir ke pipi. “Mbak Sugiayem, niki Nduk Nik, sangking Blokagung. Kulo Nduk Nik Putrane Bu Nyai Masruroh (Mbak Sugiayem, ini Nduk Nik dari Blokagung, saya anaknya Ibu Masruroh)” Mendengar saya membisikkan itu, mbak Sugiayem langsung merespon dengan membuka mata dan melihat saya kemudian mengangguk. Saya bisikkan juga dengan memakai bahasa jawa, “Mbak, wonten salam sangking keluarga teng Blokagung. Alhamdulillah keluarga, anak-anak jenengan sehat sedanten. Sedanten kirim salam dateng jenengan, dungakne jenengan mugi-mugi ndang waras. (Mbak, ada salam dari seluruh keluarga di Blokagung. Alhamdulillah anak-anak anda sehat semuanya. Semua keluarga mengirimkan salam untuk anda, dan mendoakan agar anda cepat sembuh).” Mendengar bisikan saya, Mbak Sugiayem sepertinya menangis. Saya juga menekankan ke beliau untuk tidak memikirkan apa-apa, hanya fokus saja untuk kesembuhannya, dan mengingatkan beliau untuk terus ingat Allah dengan berdzikir.
Dari keterangan perawat dan dokter yang selama ini menangani Sugiayem, ada beberapa hal yang saya tangkap:
- Selama ini Sugiayem belum pernah berobat ke RS, sehingga belum diketahui apakah selama ini sudah merasakan sakit. Jadi pertama datang ke RS langsung opname.
- Sakitnya ada dua kemungkinan, apakah epilepsy akut atau ada kelainan di otaknya. Dan untuk memastikan harus ada scan otak, dan RS Taoyuan tidak memiliki scan tersebut. Epilesi nya juga belum ketahuan karena ada peradangan di otak atau keturunan.
- Kondisi Sugiayem memang diikat tangan dan kakinya, karena untuk menstabilkan pemasangan alat-alat kesehatan di tubuhnya. Selama ini karena mungkin rasa sakit yang hebat, sering kali kaki dan tangannya tidak terkontrol dan itu membahayakan kondisi tubuhnya yang penuh dengan alat-alat bantu, oleh sebab itu untuk menjaganya tangan dan kaki diikat.
- Selama di ICU ada perkembangan signifikan. Jumat pagi selang yang membantu pernafasan dicabut.
- Rencananya sehari setelah pencabutan alat bantu tersebut, Sugiayem akan dipindah ke ruang perawatan biasa.
- Ketika saya tanya kemungkinan untuk dibawa pulang ke Indonesia, dokter mengatakan harus menunggu sekitar seminggu untuk memastikan kondisinya.
- Dokter juga menyarankan selama perjalanan pulang Sugiayem harus dalam posisi tidur bukan duduk. Jadi harus ada bed nya.
Dari kasus Sugiayem ada beberapa hal inti yang ingin saya sampaikan:
- Negara harus hadir untuk warganya. Apapun status warganya. Jangan hanya persoalan mereka kabur dari Majikan kemudian mereka dianaktirikan. Siapapun mereka dan apapun kondisinya selama mereka memegang KTP dan Paspor berlambang Garuda Pancasila, mereka tetap warga negara Indonesia.
- Pemerintah harus cepat merespon kasus-kasus penting seperti ini. Terlebih ini terkait hidup seseorang. Pihak RS Taoyuan sudah melakukan hal luar biasa yakni dengan melakukan perawatan kepada siapapun yang datang, tanpa memikirkan status dari orang tersebut. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia harus menanggapinya dengan cepat dan positif juga.
- Pemerintah Indonesia, terutama Kemenlu, harus memegang numenklatur yang sudah ada. Jangan saling melempar tanggungjawab.
- Pemerintah Indonesia, terutama Kemenlu-Kemenaker dan BNP2TKI, harus bertindak cepat atas setiap laporan yang masuk. Hidup seseorang berada pada keputusan-keputusan yang diambil dari Jakarta.
- Perwakilan-perwakilan Indonesia yang berada di luar negeri juga harus mulai pro-aktif terhadap persoalan warga Indonesia, jangan melarikan diri dengan dalih –Mereka TKI/TKW kaburan-. Banyak diantara mereka yang kabur karena jenis pekerjaan yang mereka terima tidak sesuai dengan perjanjian. Bila ini terjadi tentu yang salah adalah tetap pemerintah karena tidak melakukan pengawasan yang ketat mengenai hal ini.
- Saya mendesak kepada Kemenlu untuk segera memberikan jawaban yang jelas tentang penanganan Sugiayem dan juga TKI/TKW yang mengalami hal serupa. Kemenlu bukan hanya harus menyiapkan dana untuk perawat Sugiayem di Taiwan namun juga menyiapkan dana untuk pemulangan Sugiayem.