Sejak saya melakukan pengumuman ke publik bahwa saya maju untuk menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPR RI, saya mendapat tanggapan yang beragam, baik dari keluarga maupun teman-teman. Ada yang dengan semangat mendukung keputusan saya, “Tidak banyak perempuan berani mengambil keputusan untuk menjadi Caleg, walaupun banyak perempuan tahu betul pentingnya perempuan di ranah pengambil keputusan. Karena menjadi caleg itu bukan pekerjaan gampang, terlebih bagi perempuan. Untuk itu aku sangat bangga dan mendukung keputusanmu untuk menjadi Caleg. Dirimu pemberani,” ucap seorang teman sambil memeluk saya.
Namun lebih banyak teman yang sepertinya menyayangkan pengambilan keputusan ini. “Aku sebenarnya berharap, bermimpi, dirimu jadi sosok bu nyai yang professor, di mana nanti aku bisa menitipkan anak-anakku untuk kamu didik di pesantren,” saya tertunduk mendengar itu. Bahkan salah satu teman dekat saya dengan jujur bilang, “Menurutku, kamu terlalu dini untuk masuk ke politik, aku masih memiliki harapan kamu bisa menata pesantren dulu.”
Ada pula yang dengan pedas mengirimkan pesan ke saya, “Ternyata ya ending dari sikap keras dan komentar-komentarmu kepada kebijakan-kebijakan publik dan DPR kamu malah menceburkan diri ke politik. Duh duh, politik itu kotor, penuh intrik, jangan-jangan kamu nanti jatuh ke situ juga. Sekarang saja aku sudah merasa kalau tulisan-tulisanmu di status FB, di twitter atau artikelmu sudah tidak segarang biasanya. Ini baru jadi caleg, belum lagi kalau sudah jadi beneran. Engkau berubah kawan.” Dan masih banyak komentar-komentar yang seperti meletakkan saya pada posisi yang paling bersalah dalam keputusan ini.
Saya yang secara pribadi tidak membayangkan akan mendapat reaksi keras begini hanya bisa menangis, dan sempat goyah. Bahkan sering kali tengah malam saya bermimpi buruk, terbangun dan menangis. Menanggapi reaksi yang di luar prediksi ini, saya kadang hanya mendiamkan, namun sering kali pula mencoba menjelaskan. Terkadang saya cukup membalas dengan simpel, “Insyallah saya tidak berubah, cuman cara saya berkomunikasi mungkin sudah tidak sama. Tapi yakinlah muatannya tetap sama.” Alih-alih itu membuat kawan-kawan saya mengerti, tapi memunculkan reaksi yang lebih kuat.
Usaha memojokkan saya semakin keras bila mereka mengkaitkan saya dengan pilihan partai yang saya ambil. Saya saat itu limbung, saya merasa sudah salah jalan, sudah sangat mengecewakan teman-teman, dan semakin tidak yakin dengan jalan yang saya ambil.
Namun pada titik tertentu, kesadaran terdalam saya muncul. Saya menyadari inilah bukti kecintaan dan kepedulian kawan-kawan pada saya. Terus terang harapan teman-teman agar saya bisa menjadi A atau B itu muncul sendiri, tanpa saya pernah memberikan atau membangun harapan-harapan itu. Jadi ketika angan-angan itu muncul dan saya tidak bisa memenuhinya, saya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Saya juga berusaha melihat semua komentar teman-teman sebagai kontrol dan motivasi saya ke depannya, agar saya tetap bisa berkata tegas pada hal-hal yang tidak baik, seperti yang selama ini saya lakukan. Dengan membangun keyakinan tersebut dalam diri, akhirnya saya bisa lebih tenang, lebih fokus, dan lebih mantap melangkah. Saat saya tidak gundah, saya lebih percaya diri dan lambat laun teman-teman melihat keseriusan saya terjun ke politik, sehingga cibiran-cibiran itu berubah menjadi dukungan yang terus membangun. Alhamdulillah.
Saya mencintai kawan-kawan.