TANTANGAN KEMENKES
Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan semakin meningkat. Dahulu ketika orang sakit, perginya bukan ke puskesmas atau rumah sakit, tetapi ke dukun atau “orang pintar”. Sekarang sudah tidak lagi. Seiring dengan meningkatnya kesadaran tersebut maka juga semakin meningkat pulatuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah.Bahkan, kini masyarakat sudah menyadari bahwa kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia.
Sayangnya tuntutan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan. Akhirnya, banyak masyarakat yang kecewa.
Situasi kesehatan Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bahkan, Indonesia sudah disalip Vietnam. Buktinya, tidak ada rumah sakit yang sepi di Indonesia.Tidak sedikit juga golongan menengah ke atas yang berobat keluar negeri, seperti Singapura.Ketertinggalan pelayanan kesehatan di Indonesia semakin terlihat dengan seiring bertambahnya kesadaran atau tinggi pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap kesehatan.
Yang sering menjadi bukti memprihatinnya kondisi kesehatan masyarakat Indonesia adalah pertama, rendahnya kualitas pelayanan di puskesmas. Sebagai fasilitas pelayanan pertama (frontline), kondisi puskesmas di daerah-daerah masih butuh perhatian baik sisi fisik bangunan maupun penunjang peralatan medis.
Saya sangat prihatin bila pemerintah hanya membesar-besarkan rumah sakit tapi kondisi puskesmas sendiri disepelekan. Puskesmas adalah ujung tombak kesehatan bagi masyarakat. Puskesmas langsung bersentuhan dengan masyarakat dan mengetahui kebutuhan kesehatan masyarakat.
Sudah saatnya Kementerian Kesehatan beserta dengan jajaran untuk sering-sering turun kelapangan (blusukan) agar tahu kondisi yang sebenarnya. Di Daerah Pemilihan saya, di Kabupaten Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso tidak sedikit kondisi Puskesmas yang sangat memprihatinkan:obat-obatan sering datang terlambat karena permasalahan yang sangat teknis, proses pemesanan obat yang panjang melalui e-katalog, terbatasnya peralatan medis dan sumber daya manusia.
Kedua, selain puskesmas, rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah juga masih rendah tingkat pelayanannya. Alasannya sangat klasik yakni keterbatasan dana untuk mengembangkan mutu layanan. Problem terkini yang saya temukan adalah banyaknya rumah sakit yang belum mengetahui administrasi tentang “kartu sakti” Presiden Joko Widodo, yakni Kartu Indonesia Sakti (KIS). Rumah sakit kebingungan dengan KIS karena belum ada administrasi khusus KIS.
Walhasil, kesehatan itu penting dan pemerintah wajib memfasilitasi dan mendukungnya. 1 Juni 2015, bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila, digelarlah rapat kerja antara Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek dengan komisi IX DPR RI. Dalam rapat tersebut, komisi IX DPR RI menolak peta jalan (roadmap) alokasi anggaran 5% kesehatan dari APBN. Roadmap tersebut harus dibahas lagi dan disempurnakan lagi. Tidak menutup kemungkinan juga dilibatkan Kementerian Sosial, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan bahkan juga Kementerian Keuangan dan Bappenas.
Pada 2013, Indonesia hanya mengalokasikan 3,7 persen dari APBN untuk sektor kesehatan. Angka ini lebih rendah dari beberapa negara berpenghasilan rendah seperti Rwanda, Tanzania dan Liberia yang mampu mengalokasikan 11 persen dari anggaran nasional mereka untuk sektor kesehatan.
Negara yang memiliki pendapatan yang mirip dengan Indonesia, seperti Chile bahkan mampu mengalokasikan 16 persen dari anggaran nasional untuk perawatan kesehatan. Tren belanja rendah pada kesehatan bahkan terus menurun untuk anggaran nasional 2015 itu. Dari Rp. 2,019.9 triliun, pemerintah hanya mengalokasikan Rp. 71 triliun untuk sektor kesehatan atau 5% dari APBN (Direktorat Anggaran 2015). Walau jumlahnya telah meningkat dari Rp. 67 triliun pada tahun 2014, namun rasionya adalah menurun menjadi 3,5 persen dalam alokasi sektor kesehatan.
Dalam amanah UU No.36/2009 tentang Kesehatan diamanatkan besaran anggaran kesehatan, yakni minimal 5% dari belanja APBN dan minimal 10% dari APBD. Baca secara tegas kata ‘minimal”. Harusnya itu merupakan batas ambang yang harus dihindari untuk kemudian menaikkan angka 5 menjadi 10 misalnya. Bukannya memilihangka minimal 5. Apakah angka minimal 5% tersebut merupakan dukungan pemerintah untuk kesehatan penduduk Indonesia? Masyarakat yang akan menjawabnya.
Persoalan penting selain besaran anggaran adalah kemampuan pemerintah dalam mendistribusikan atau membelanjakan anggaran tersebut agar sesuai dengan program prioritas, sehingga alokasi anggaran tersebut bisa tepat sasaran, efektif, dan efisien. Inilah tantangan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab atas pelayanan kesehatan publik.[]