Tantangan Fatayat NU
Kini perempuan tidak bisa hanya jadi ‘penggembira’. Perempuan harus menjadi subjek atau pelaku. Berbagai kesempatan dan jalan untuk memperjuangkan nasib dan hak perempuan sudah semakin terbuka. Dengan catatan, perempuan harus sustainableberjuang dan bekerja keras. Siapa lagi kalau bukan perempuan yang akan menyuarakan hak-hak perempuan? Siapa lagi kalau bukan perempuan yang paling memahami hak-haknya? Bila perjuangan dan kerja keras tidak ada dalam diri perempuan, maka kita akan kembali ke masa silam, ke lubang kehinaan di mana perempuan tidak memiliki nilai.
Perempuan kini semakin dihadapkan dengan berbagai tantangan. Selain mengurusi dirinya sendiri sebagai entitas yang seringkali tidak dianggap, tidak mendapatkan tempat, tidak dilibatkan, dan ditindas, perempuan juga dihadapatkan pada tanggung jawab terhadap anak dengan segala problematikanya dan lingkungan sekitar.
Sebagai badan otonom Nahdlatul Ulama, tentu saja Fatayat NU tidak akan lepas dari tugas-tugas yang disebutkan di atas. Konggres Fatayat NU ke-15 yang dihelat pada 19-22 September 2015 di Surabaya sudah tentu harus mampu memetakan masalah, menjawab tantangan, dan sekaligus menemukan formulasi-formulasi dan startegi-strategi jitu untuk menjawabnya. Keterlibatan Fatayat NU—sebagai organisasi perempuan muda/pemudi NU—dalam hal ini sangat ditunggu-tunggu masyarakat.
Bila menengok sejarah, di tahun 70-80-an, Fatayat dan Muslimat NU telah memainkan peranan yang penting dalam mempengaruhi para Kyai untuk mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis yang terkait dengan Keluarga Berencana (KB), hingga keluarlah istilah Keluarga Maslahah, dan mendirikan Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) yang mendukung program KB. LKK ini di-support juga oleh rumah sakit-rumah sakit dan klinik-klinik. LKK juga mengadakan program-program pelatihan bagi kesehatan tenaga kerja, baik tenaga kerja domestik maupun luar negeri, menyebarkan pamflet-pamflet dan buku-buku tentang kesehatan reproduksi. Rasanya, ini menjadi salah satu success storyFatayat dan Muslimat NU dahulu. Bagaimana Fatayat ke depan?
Dalam konteks ini, penulis ingin memetakanpersoalan-persoalan prioritas yang Fatayat NU harus lakukan. Pertama, menyiapkan pemimpin perempuan, tingkat lokal (camat, bupati, wali kota), nasional (gubernur, menteri, kepala lembaga negara) bahkah internasional. Dengan menjadi pemimpin, perempuan memiliki kesempatan yang luas dan kekuasaan yang kuat untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang membela perempuan. Tentu ini membutuhkan waktu yang lama, namun harus dimulai sejak dini. Pengkaderan calon pemimpin perempuan menjadi agenda mendesak.
Dalam aras politik, tampaknya Fatayat menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang terlibat dalam advokasi peraturan/undang-undang pemilu sejak 2003 (Fithriati; 2008). Kini perempuan-perempuan NU sudah mulai duduk di badan legislatif.Sebagian juga sudah masuk dalam pemerintahan. Tentu, keterlibatan NU dalam politik praktis melalui Partai Kebangkitan Bangsa semakin membuat peluang untuk mencetak para pemimpin perempuan NU lebih banyak lagi.
Kedua, sebagai gerakan pemberdayaan perempuan, Fatayat NU sudah harus mulai melebarkan sayapnya, tidak hanya berkutat pada pencerahan keagamaan—meskipun ini tetap penting—tetapi juga harus mulai menyentuh wilayah ekonomi dan kesehatan. Ingat bahwa mayoritas anggota Fatayat adalah ibu rumah tangga dan kemudian wiraswasta (other self-employed activities).Kedua hal ini penting sebagai kebutuhan dasar manusia. Komunitas-komunitas pembedayaan perempuan di bidang ekonomi (baca: ekonomi riil seperti koperasi, kerajinan, pertanian, industri kecil, menengah, dan sebagainya) menjadi wajah untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Entrepreneurial or vocational trainningseringkali menjadi agende kesekian setelah program-program literacy, capacity building, dan konseling.
Tak kalah penting lagi adalah kesehatan, terutama kesehatan reproduksi. Ingat bahwareproduction is the single greatest threat to (women’s) health (Christopher Candland & Siti Nurjanah; 2004). Angka meninggal Ibu melahirkan masih cukup tinggi. Pernikahan di usia dini yang berpengaruh signifikat pada meningkatnya angka kelahiran, putus sekolah dan rendahnya tingkat ekonomi, juga semakin memprihatinkan, terutama di daerah-daerah kantong NU, misalnya Rembang dan Banyuwangi. Lagi-lagi pendidikan seks untuk remaja menjadi agenda kesekian.
Ketiga, Fatayat NU juga harus mampu menjadi leading sector penyampai pendidikan politik bagi perempuan. Pendidikan politik di sini bermakna luas, bisa politik praktis, politik hukum, politik anggaran, Hak Asasi Manusia, dan pengetahuan tentang anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Memang politik bukanlah priotitas utama tujuan pendirian Fatayat, (sebagaimana hasil penelitian Nunung Nuryartono & Pataporn Sukontamarn; 2010), namun dalam kehidupan sehari-hari kini kita tidak bisa terhindar dari imbas kebijakan politik. Oleh sebab itu, perempuan harus dibekali hal-hal tersebut. Sebab manuver-manuver dan permainan-permainan politik semakin canggih. Perempuan tentu diharapkan menjadi penjaga agar agenda politik tidak melenceng jauh, HAM terjaga, dan korupsi tidak merajalela.
Walhasil, Fatayat NU harus lebur dalam persoalan dan tantangan masyarakat. Perjuangan para pendahulu harus diteruskan dan belum usai. Ketiga tantangan tersebut menjadi amanat bagi Fatayat NU ke depan. Selamat Berkonggres.[]
Artikel ini telah dimuat di http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,62344-lang,id-c,kolom-t,Tantangan+Fatayat+NU-,phpx