Perbaiki Sistem Adopsi Anak
Pemerintah sudah sebaiknya memperbaiki sistem adopsi anak. Tewasnya Angeline harus menjadi cambukan keras buat pemerintah untuk segera memperbaiki sistem perlindungan terhadap anak. Jangan sampai pemerintah hanya sebatas reaktif. Harus ada perbaikan mendasar di setiap lini pemerintah, kata Nihayatul Wafiroh, anggota DPR RI asal Banyuwangi.
“Seluruh aparatatur pemerintah, dari pemerintah desa, daerah, provinsi hingga pusat, harus mengevaluasi sistem adopsi yang selama ini dipraktikkan. Langkah cepat dan tepat harus segera dibuat untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi pada generasi penerus bangsa” tegas Nihayatul Wafiroh.
Saat ini, Indonesia belum memiliki sistem adopsi yang jelas. Indikasinya, belum ada UU khusus yang mengatur hal tersebut. Hingga saat ini, ketentuan adopsi anak diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung, Keputusan Menteri Sosial dan PP. Belum ada UU khusus yang mengatur hal tersebut.” Kata Nihayah, anggota DPR RI dari FPKB.
Hal itu diperparah dengan banyaknya praktik adopsi yang tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Banyak masyarakat yang tidak tahu dan memahami perihal sistem adopsi anak. Persoalan tersebut diperparah dengan mitos dan tradisi ‘mancing’ yang berkembang di masyarakat. ‘Mancing’ adalah sebuah mitos dan tradisi yang berkembang di masyaraka jika mengadopsi anak akan mempercepat proses kehamilan.
Dalam kasus adopsi Angeline, seperti yang diberitakan media, bahwa ada kesepakatan antara Margariet, ibu angkat Margariet dan Hamidah dan Rosidi bahwa orang tua kandung tidak diperbolehkan bertemu sang bocah sejak tiga hari diadopsi. Kesepakatan tersebut dilakukan kedua belah pihak, tanpa melibatkan negara. Negara absen dalam kesepakatan tersebut. Angeline, Bocah berumur 8 tahun itu dibunuh dan dikubur pelaku pembunuhan di pekarangan rumah orang tua angkatnya di Bali. Kuat dugaan jika Angeline diangkat secara illegal oleh Margriet dari pasangan Hamidah dan Rosidi, warga Glenmore Banyuwangi. Akibat ketidakjelasan dan kepastian hukum adopsi anak ini, kasus-kasus pengadopsian anak akan semakin marak dan mengerikan.
Belajar dari kasus yang dialami Angeline beberapa waktu yang lalu, bijak kiranya kasus tersebut bisa dijadikan pembelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memperbaiki kebijakan dalam sistem adopsi anak. Harapannya, perbaikan sistem adopsi anak yang baik ini bisa menjadi ujung tombak untuk melindungi dan memayungi anak-anak.
Pemerintah, harus gencar mensosialisasikan bagaimana prosedur mengadopsi secara benar kepada masyarakat luas. Hal ini berguna supaya masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya. Selain itu, masyarakat juga dapat terlibat aktif dalam melindungi anak-anak yang diadopsi. Untuk jangka panjang, Indonesia harus memiliki UU adopsi anak, karena hal itu adalah ujung tombak dalam melindungi dan memayungi anak-anak, generasi penerus bangsa.
Pemerintah sudah sebaiknya memperbaiki sistem adopsi anak. Tewasnya Angeline harus menjadi cambukan keras buat pemerintah untuk segera memperbaiki sistem perlindungan terhadap anak. Jangan sampai pemerintah hanya sebatas reaktif. Harus ada perbaikan mendasar di setiap lini pemerintah, kata Nihayatul Wafiroh, anggota DPR RI asal Banyuwangi.
“Seluruh aparatatur pemerintah, dari pemerintah desa, daerah, provinsi hingga pusat, harus mengevaluasi sistem adopsi yang selama ini dipraktikkan. Langkah cepat dan tepat harus segera dibuat untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi pada generasi penerus bangsa” tegas Nihayatul Wafiroh.
Saat ini, Indonesia belum memiliki sistem adopsi yang jelas. Indikasinya, belum ada UU khusus yang mengatur hal tersebut. Hingga saat ini, ketentuan adopsi anak diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung, Keputusan Menteri Sosial dan PP. Belum ada UU khusus yang mengatur hal tersebut.” Kata Nihayah, anggota DPR RI dari FPKB.
Hal itu diperparah dengan banyaknya praktik adopsi yang tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Banyak masyarakat yang tidak tahu dan memahami perihal sistem adopsi anak. Persoalan tersebut diperparah dengan mitos dan tradisi ‘mancing’ yang berkembang di masyarakat. ‘Mancing’ adalah sebuah mitos dan tradisi yang berkembang di masyaraka jika mengadopsi anak akan mempercepat proses kehamilan.
Dalam kasus adopsi Angeline, seperti yang diberitakan media, bahwa ada kesepakatan antara Margariet, ibu angkat Margariet dan Hamidah dan Rosidi bahwa orang tua kandung tidak diperbolehkan bertemu sang bocah sejak tiga hari diadopsi. Kesepakatan tersebut dilakukan kedua belah pihak, tanpa melibatkan negara. Negara absen dalam kesepakatan tersebut. Angeline, Bocah berumur 8 tahun itu dibunuh dan dikubur pelaku pembunuhan di pekarangan rumah orang tua angkatnya di Bali. Kuat dugaan jika Angeline diangkat secara illegal oleh Margriet dari pasangan Hamidah dan Rosidi, warga Glenmore Banyuwangi. Akibat ketidakjelasan dan kepastian hukum adopsi anak ini, kasus-kasus pengadopsian anak akan semakin marak dan mengerikan.
Belajar dari kasus yang dialami Angeline beberapa waktu yang lalu, bijak kiranya kasus tersebut bisa dijadikan pembelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memperbaiki kebijakan dalam sistem adopsi anak. Harapannya, perbaikan sistem adopsi anak yang baik ini bisa menjadi ujung tombak untuk melindungi dan memayungi anak-anak.
Pemerintah, harus gencar mensosialisasikan bagaimana prosedur mengadopsi secara benar kepada masyarakat luas. Hal ini berguna supaya masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya. Selain itu, masyarakat juga dapat terlibat aktif dalam melindungi anak-anak yang diadopsi. Untuk jangka panjang, Indonesia harus memiliki UU adopsi anak, karena hal itu adalah ujung tombak dalam melindungi dan memayungi anak-anak, generasi penerus bangsa.
Press release ini telah diterbitkan di http://komprominews.com/legislator-banyuwangi-segera-perbaiki-sistem-adopsi-anak/