Tulisan ini Sudah saya siapkan 10 Harian ini, namun belum sempat saya posting, tadi pagi dapat kabar kalau Laura Meninggal. tangis tidak bisa aku bendung. Maafkan kami Laura yang miskin kesalehan Sosial, Maafkan negara ini Laura yang mengabaikanmu. Selamat jalan Laura sayang. tuhan menyayangimu
INI. TULISAN YANG SUDAH SAYA SIAPKAN
Sudah cukup lama saya ingin menuturkan kisah ini pada pembaca, tetapi saya butuh waktu untuk menulisnya. Ada rasa sedih, miris, ingin melakukan sesuatu yang terus menghantui. Bismillah, saya memutuskan mengisahkan ini agar ada perbaikan sistemik, supaya ada langkah-langkah konkrit dari pemerintah.
Sabtu, 13 Juni 2015. Jalanan nampak sedikit lengang. Debu-debu jalanan berterbangan dibawa angin-angin yang hendak menjemput siang. Saya lantas naik motor. Menyusuri jalan dari Blokagung Banyuwangi, sekira 12 km, menuju RS. Genteng yang terletak di Jl. Hasanudin, No. 98, Genteng, Banyuwangi. Benak pikiran saya melayang-layang selama perjalanan, bertanya-tanya mengenai seorang anak jalanan yang dirawat dan ramai dibicarakan oleh media dan LSM di Banyuwangi. “Mbak, ini tanggung jawab pemerintah dan tentu tanggung jawabmu sebagai legislator” kata teman-teman media dan lsm. Kalimat itu terus terngiang.
Lamunan saya buyar, lantas saya lirik jarum jam tangan, waktu menunjukkan pukul 10.00 lewat 30-an menit saat saya sampai di rumah sakit tersebut.
Lansung saya turun dari motor, dan berjalan menuju tempat Laura di rawat. Lorong-lorong, dan dinding-dinding terasa beku. Lalat-lalat nampak sedang ‘merubung’ sisa-sisa makanan di tong-tong sampah, sedang dengungan nyamuk yang bising tak ketinggalan ‘mampir’ juga di daun telinga selama menyusuri setapak jalan rumah sakit. Setiap sudut-sudut ruangan tak lepas dari pengamatan, dan dalam hitungan menit, saya sudah sampai di tempat Laura di rawat.
“Subhanallah… sungguh mengenaskan nasib bocah ini,” celutuk saya dalam hati ketika pertama kali saya menatap sorot matanya.
Laura. Bocah yang sangat malang. Ia menderita sakit yang cukup parah. Ia tidak memiliki tempat tinggal. Tiga tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2012 Bapak dan Ibunya meninggal dunia. Ia mempunyai enam saudara. Namun, hampir semua keluarganya tersebut hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Anak yang pertama sudah menikah dan kerja di Bali, yang kedua berprofesi sebagai pengamen, yang ketiga juga berprofesi sebagai pengamen, yang keempat tuna wicara dan tinggal di sebuah yayasan di Bali. Kakaknya yang nomor tiga juga dalam keadaan sakit karena usai kecelakaan.
Dahulu, sebelum Laura dirawat di rumah sakit, Ia seringkali dirawat dandigendong kakaknya Vico saat mengamen. Termasuk saat-saat hujan deras jatuh dan udara dingin menembus tulang belulang. Laura tidak sekolah karena berpindah-pindah terus tempat tinggalnya.
Vico menjawab dan bercerita dengan nada lirih, parau. Semakin lirih saat bercerita tentang dimana ia harus tinggal, usai dari rumah sakit. Ia terlihat kebingungan dan frustasi bagaimana adiknya tinggal nantinya usai di rawat Rumah Sakit. Sebab, ia sendiri tak mempunyai tempat tinggal.
Selama ini Vico hidup berpindah-pindah. Beberapa waktu terakhir ia tinggal di rumah kawannya yang keluarganya sedang di luar negeri, tetapi sekarang keluarga temannya itu sudah pulang, jadi tidak mungkin kembali ke rumah tersebut. Dia bingung setelah ini akan tinggal di mana, setelah adiknya dirawat di RS. Ia ingin bisa tinggal bersama adik-adiknya supaya dapat menjaga mereka. Kadang, kerasnya hidup membuat Vico putus asa, hingga ia pernah dua kali ingin bunuh diri.
Tak terasa, kelopak mata saya basah oleh air mata mendengar cerita Vico, penderitaan Laura, juga keluarganya. Hati saya sungguh begitu ngilu.
Saat itu juga saya menelpon kepala dinas sosial, tenaga kerja, dan transmigrasi Banyuwangi untuk bertanya apakah pemerintah memiliki shelther? Mereka bilang, “ Tidak punya”. Saya shok, sekaligus agak linglung. Dalam pikiran melayang-layang tanya, berapa banyak lagi korban akan berjatuhan?
Negara. Di mana posisi negara dalam situasi yang seperti ini. Melalui pemerintah, seharusnya negara mampu memberikan jaminan dan akses kesehatan, serta hidup yang layak terhadap warganya sebagaimana tercantum dalam UU Dasar 1945. Apakah pemerintah akan absen lagi dari persoalan kemismikanan yang sifatnya struktural seperti ini? Sudah sebaiknya pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya berjalan secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan sosial karena struktur yang timpang. Membangun rumah singgah bagi anak-anak jalanan khusunya di Banyuwangi dan pendidikan skill anak-anak jalan seharusnya menjadi program mendesak bagi pemerintah untuk mengatasi problem kemiskinan kota.
Sampai saat ini saya masih memikirkan jalan keluar untuk mereka. Saya telah berjanji pada Vico, Tasya dan Laura akan mencarikan shelter buat mereka.
Pemerintah harus tanggap terhadap permasalahan-permasalahan macam ini. Perlu dipikirkan dan dibuat shelter untuk mereka, juga dipikirkan masa depan serta jaminan kesehatan untuk mereka. Jangan sampai Wujuduhu kaadamihi, keberadaannya sama dengan ketiadaannya, jangan sampai keberadaan Negara ini semu. Negara harus hadir.