LITERASI AGAMA DAN PENGUATAN REGULASI
Agenda kerukunan umat beragama belum usai. Ia masih menjadi PR besar bagi pemerintah dan juga masyarakat Indonesia. Pembakaran masjid Baitul Muttaqin (sekali lagi masjid, bukan mushalla) di Karubaga, Tolikara, Papua (17/7/2015)menjadi penanda nyata belum usainya agenda kerukunan umat beragama.Insiden di Tolikara merupakan shock therapy bagi kita semua yang sudah ke-GR-an kalaukerukunan umat beragama sudah terbangun dengan baik. Bisa jadi kerukunan tersebut sudah terbangun dengan baik namun tidak merata di seluruh wilayah di Indonesia, mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari pepulauan ini. Mungkin wilayah Timur seperti Papua masihkurang—untuk mengatakan tidak sama sekali—disentuholeh agenda ini. Oleh sebab itu, wilayah Timur atau wilayah-wilayah yang ditengarai berpotensi konflik harus menjadi prioritas untuk agenda kerukunan ini.
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan juga masyarakat pasca insiden tersebut menjadi pertanyaan penting yang harus segera dijawab. Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan tiga hal. Pertama, pengusutan tuntas secara hukum terhadap pelaku-pelaku pembakaran tersebut. Kedua, rehabilitas atas bangunan-bangunan yang rusak (termasuk masjid) dan ketiga, menggelar dialog tokoh-tokoh agama dan masyarakat Papua untuk menangani situasi di sana. Intruksi ini perlu diapresiasi. Sejauh ini, ketiga instruksi tersebut sudah dilakukan. Namun, masyarakat juga harus terus-menerus dikawal agar cita-cita kerukunan umat beragama ini tercapai dengan baik dan tidak melenceng.
Polda Papua telah menetapkan dua tersangka insiden Tolikara (Jawa Pos, 24/7/2015), meskipun belum sampai menangkap aktor intelektualnya. Melalui Kementerian Sosial, pemerintah akan memperbaiki fasilitas yang rusak dan terbakar akibat insiden tersebut. Pada, 27 Juli 2015, Presiden Joko Widodo mengundang tokoh lintas agama untuk berdialog dan menyerukan betapa pentingnya peran tokoh agama dan masyarakat dalam membangun hubungan harmonis antar umat beragama.
***
Secara teori, semua agama pada hakikatnya mengajarkan ketundukan terhadap Tuhan dalam lambang-lambang kesalehan yang kemudian terejawantahkan dalam komitmennya untuk saling mengasihi sesama di dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Namun mengapa hal tersebut sulit terjadi?
Pertama, timbulnya gesekan antar umat beragama tidak bisa dilepaskan dan sering kali berjalin kelindan dengan sentimen keagamaan. Sentimen keagamaan ini lahir karena adanya klaim keberanan (truth claim); yakni bahwa ‘hanya agamakulah yang benar.’ Agama di luar selain agama yang dipeluk seseorang adalah tidak benar.
Perhatikanlah kesaksian Nurman yang dirilis Tempo:
Namun ketika rakaat pertama takbir kelima, Nurmin mendengar ada suara lantang yang diteriakkan sejumlah orang. “Tidak ada yang namanya ibadah gini, harus berhenti!” kata Nurmin menirukan suara yang didengarnya itu saat diwawancarai Tempo, Selasa, 21 Juli 2015. “Tidak ada yang namanya ibadah gini, harus berhenti!” merupakan ujaran dari sikap yang cenderung menolak kebenaran dari pihak lain dengan menyakini ajaran dan keyakinan kelompoknyalah yang paling benar.
Dan, bahkan yang mengerikan dari sikap ini adalah tampilnya wajah-wajah garang dan menakutkan.Sikap seperti ini memunculkan konsekuensi logis tumbuhnya potensi aksi-aksi destruktif.
Singkatnya,truth claim menjadi wilayah rawan yang wajib diperhatikan. Truth claim secara tidak langsung berperan dalam melenyapkan nilai dan fungsi agama itu sendiri. Bahkan, bisa jadi menciptakan agama ‘baru’ yaitu agama “fundamentalis” yang kaku dan mengerikan.Jadi, menumbuhkan kesadaran untuk tidak melakukan truth claim itu harus ditekankan dalam agenda-agenda dialog antar agama oleh para pemuka agama atau tokoh masyarakat.
Hal ini bisa terjadi apabila dibangun pemahaman baru yang lebih inklusif (hanif), konstruktif, dinamis, humanis dan komprehensif terhadap agama-agama lain. Inilah yang penulis maksudkan dengan pluralisme, sebuah usaha pencerdasan keagamaaan (religion literacy).
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Amin Abdullah pernah berkata: “to be religious man, you have to be inter-religion.” Untuk menjadi religius, anda harus memiliki pengatahuan lintas/inter agama. Mempelajari atau mengetahui agama lain, bukan berarti harus masuk ke dalam agama itu, tetapi mencoba memahami dan mengerti ajaran-ajaranya. Tujuannya adalah menghindari salah paham-salah paham yang memicu konflik.
Kedua, hal yang tak kalah penting lainnya adalah undang-undang terkait kerukunan umat beragama (KUB) dan perlindungan umat beragama (PUB) yang sangat mendesak untuk segera disahkan. Sebab selama ini kedua RUU belum jelas nasibnya.Meskipun memang bisa dipahami bahwa penyusunan RUU yang sangat sensitif ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, kemendesakan agar segera disahkannya RUU tersebut juga harus dipikirkan.
Walhasil, kiranya, religion literacy, pencerdasan keagamaan yang diberikan kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta undang-undang terkait kerukunan dan perlindungan umat bearagam akan memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antar umat beragama. Semoga.
Tulisan ini telah dimuat di http://www.tempo.co/read/kolom/2015/07/28/2233/literasi-agama-dan-penguatan-regulasi