Dedek Muhammad Aqil Mirza sekarang umurnya hampir delapan tahun, sudah kelas 2 SD Darussalam. Dia termasuk anak yang mandiri, walaupun seperti layaknya anak-anak sering kali dia juga keras kepala hehehe.
Posisiku memang bukan seperti halnya Ibu-ibu lainnya yang bisa setiap saat menemani anak-anaknya. Kerjaanku yang kadang mengharuskan aku traveling dan juga tanggungjawabku sekolah di tempat lain menjadikan aku tidak bisa selalu stand by dengan anak-anak. Alhamdulillah sejauh ini anak-anak baik dan berada di lingkungan yang insyallah baik bersama orang tuaku.
Karena jarang ketemu anak-anak, jadi setiap ada kesempatan untuk bersama anak-anak aku selalu berusaha menggunakan semaksimal mungkin. Tidur bareng, jalan-jalan bareng, kruntel-kruntel jadi aktivitas yang favorite kami. Dedek biasanya masih tidur dengan aku, dan sebelum tidur kami sering baca buku sama-sama sebelum akhirnya dia minta kelon lalu tidur.
Namun sejak beberapa bulan ini, tepatnya setelah anak pertamaku yang sekarang kelas 1 Mts pergi ke pesantren, ada yang berubah dari Dedek Mirza. Dia yang biasanya nempel terus sama aku, sekarang sudah mulai banyak beraktivitas sendiri. Yang paling terasa adalah ketika sekarang dia sudah tidak mau tidur bareng atau aku temani. “Mama, I’m not kid” itu kata-kata yang pernah membuat aku terkesiap ketika aku minta dia tidur dengan aku.
Sebagai seorang Ibu yang jarang bisa memeluk dia, sebenarnya aku sedih karena tidak bisa lagi memeluknya sepanjang malam. Tapi di sisi lain ini adalah semacam pengingat buatku kalau anakku sudah besar. Seringkali sebagai orang tua, aku masih menganggap anak-anak kita masih seperti saat kita bisa mmenggendongnya, dan selalu tergantung ke kita. Padahal seiring dengan waktu anak-anak kita akan besar, mereka akan mulai belajar mandiri dan ketergantungan secara fisik tentu sedikit demi sedikit akan mulai berkurang. Nah saat seperti ini kita sering kali tidak rela, sehingga terus memaksakan anak untuk mengikuti aturan-aturan kita, tanpa mau menegoisasikan atau mengajak mereka untuk mengambil keputusan bersama-sama. Dan sampai tahap inipun aku masih belajar.
Aku ingat betul ketika Kakak Kavin mulai menginjak kelas 4 atau 5 SD, dia mulai tidak mau model rambutnya dipotong seperti biasanya. Kan kalau sebelumnya potongan rambut ngikutin apa kata Babahnya, tapi ketika mulai besar dia suah bisa bilang “Aku gak mau potong ramput seperti itu.” Dia sudah mulai memilih model rambutnya sendiri. Walaupun sering kali aku tidak pas dengan model rambutnya, tapi aku hanya bisa kasih saran saja.
Begitu juga ketika memilih pesantren buat Kakak Kavin. Sebenarnya aku dengan Babah sudah menyiapkan 3 pesantren pilihan untuk dia, tapi ternyata dia memilih pesantren lain yang tidak ada dalam 3 pilihan tersebut. Babah sempat keberatan, akupun juga harus bepikir ulang. Namun akhirnya kami mengabulkan pilihan Kakak Kavin dengan pertimbangan pilihan Kakak juga bukan pilihan yang jelek kok. Alhamdulillah di Pesantren kakak Kavin hanya butuh waktu seminggu untuk adaptasi, dan sekarang sudah fine.
Memang proses memahami kalau anak kita sudah not kid lagi tidak mudah. Saya dan suami sering kali harus berdebat untuk memutuskan sikap yang bagaimana yang harus kami ambil.
Ada kejadian yang membuat aku tertawa sampai perut sakit. Waktu itu Kakak sudah kelas 6 SD, ketika sudah waktunya tidur, Babah sudah ngajak anak-anak tidur, dan seperti kebiasaan sejak dulu Babah pasti mengingatkan anak-anak untuk BAK sebelum tidur. “Ayo Kakak, Pipis dulu sebelum tidur,” dan reaksi Kakak yang membuat aku ngakak dan tersadar, kakak jawab “Babah ini, I’m not kid, kayak anak kecil saja aku masih disuruh pipis. Masak kesukaan laguku sudah Linking Park masih saja suruh pipis.” wakkakakaka. Ternyata memang sebagai orang tua butuh merubah juga cara perlakuan ke anak.
Anyway, being parent is same as a being student, we have to learn everyday.