Tulisan ini dimuat di Majalah Swara Rahima edisi 41, Mei 2013
“Dari hasil wawancara, dia ini perspektif gendernya bagus, punya keberpihakan pada kelompok yang dilemahkan, baca kitab kuningnya juga bagus, bisa mengkontekskannya dengan situasi kekinian. Alumni UIN Sunan Kalijaga, dari keluarga pesantren di Banyuwangi. Cumaaaaa… saat ini dia sedang menunggu hasil tes akhir program beasiswa IIEF untuk S2 di Hawai. Dan kans-nya sangat besar,” kata Farha Ciciek (Direktur Rahima 2001-2006) pada rapat penentuan peserta Program Pendidikan Ulama Perempuan Rahima wilayah Jawa Timur 8 tahun lalu.
Dia adalah Nihayatul Wafiroh (Ninik), perempuan kelahiran Blokagung, Banyuwangi, 15 Desember 1979, anak pertama dari Nyai Hj. Handariyatul Masruroh dan KH A. Mudhofar Sulton. Ninik bersama 2 adik perempuan dan 1 adik laki-lakinya merupakan cucu KH Muchtar Syafa’at AG., pendiri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi, dengan lebih dari 4000-an santri serta mempunyai pengaruh kuat di daerah Jawa Timur.
Sebagai cucu pertama, Nduk Nik, nama panggilan Ninik di lingkungan pesantren, sangat istimewa. Ia tak hanya menjadi kesayangan Kakek dan Neneknya, tetapi juga Pakde, Paklik dan Buliknya. Nduk Nik kecil sangat dikenal oleh seluruh pengurus, pengajar, santri bahkan masyarakat sekitar. Meskipun demikian, Ninik tidak tumbuh menjadi anak yang manja. Lulus Tsanawiyah, Ninik memilih belajar mandiri, mondok di pesantren Bahrul Umum, Tambak Beras, Jombang.
Di sana, Ninik nyantri di MMA, Madrasah Muallimin/Mualimat Atas, dan semakin mengembangkan kemampuannya berorganisasi yang telah dirintisnya sejak di Blokagung. Rasa empati dan berbaginya tumbuh subur di tengah 1.200-an santri di pondok Fathimiyah. Kegemarannya membaca buku dan menulis (Ia bergabung dengan Forum Lingkar Pena) juga berkembang pesat disana.
Belum lulus MMA (tetapi telah lulus Aliyah), Ninik dinikahkan dengan Aslam As’ad, seorang akademisi asli Madura yang dalam pandangan orangtua Ninik akan sangat memahami gejolak jiwa Ninik. Ternyata pilihan tersebut tepat, Mas Aslam selalu menjadi orang pertama yang berada di belakang Ninik apapun aktivitas yang dipilihnya, bahkan yang sangat out of the box bagi kalangan pesantren sekalipun. “Cara berpikirku yang out of the box dipengaruhi oleh dua hal: hasil didikan orang tua, dan terinspirasi dari Mbah Syafa’at yang sangat berpikiran maju,” terang penyuka travelling itu.
Usai menikah, Ninik kuliah di Yogyakarta. Ia sempat menghabiskan satu semester di Psikologi Universitas Achmad Dahlan sebelum akhirnya cuti melahirkan Kavin. Sekembalinya ke Kota Gudeg, Ninik memilih melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga. Kesibukan kuliah tidak membuat ia berhenti berorganisasi terutama dalam tulis menulis. Ia menjadi pengurus ARENA, majalah kampus. Sebulan sebelum wisuda, Ninik melahirkan Mirza.
*****
Sepulang S2 di Hawai pada 2009, Ninik segera membongkar dua koper besarnya yang berisi puluhan buku lalu mendirikan perpustakaan komunitas untuk anak-anak dan Ibu Rumah Tangga. “Akses kedua kelompok ini pada perpustakaan yang ada sangat terbatas. Aku kemudian berpikir untuk menyediakan perpustakaan dengan berbagai tema bacaan agar ada sebagian waktu mereka untuk membaca. Bukankah membaca adalah jendela dunia,” jelas Ninik yang juga hobi menulis cerpen.
Untuk menambah koleksi perpustakaan yang dibangun di tengah pemukiman warga, Ninik meminta koleksi buku suami dan adik-adiknya dipajang di perpustakaan. Ia juga mengontak beberapa kenalan untuk mendonasikan buku, salah satunya Konjen AS di Surabaya. Mereka mendonasikan buku yang antara lain berisi kehidupan muslim di AS. “Tafsir Al Misbah menjadi salah satu buku favorit disini. Buku yang merupakan hasil donasi beberapa pihak itu sejak dibeli hingga sekarang belum pernah nongkrong manis di rak buku, “lanjut pemilik blog Nihayahcenter.com ini dengan nada bangga.
Belum usai menularkan berbagai pengetahuan yang diperoleh selama studi master-nya kepada santri putri di pondok utara – jumlah santri 1.340, Ibunda Ninik penanggung jawab utamanya -, Ninik harus berangkat ke Yogyakarta untuk memulai S3 nya di ICRC (Indonesia Consortium for Religious Studies) Universitas Gajah Mada. Meskipun sedang menempuh program doctoral yang membutuhkan konsentrasi tinggi, tetapi Ninik selalu ‘kelebihan energi’ dan butuh menyalurkannya di tempat lain sehingga Ia pun aktif di komunitas NGO dan Fatayat NU Yogyakarta.
Kedekatannya kembali dengan Rahima dimulai ketika Ninik masih di Hawai. Saat itu Ia menjadi penulis di beberapa rubrik Swara Rahima. Pada 2010, Ninik menjadi peserta pelatihan TOT Rahima tentang Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SRH) bagi ulama perempuan. Sejak itu, Ninik merasa tercubit dan menjadi gelisah luar biasa. “Aku teringat pada santri dan pengurus pondok yang masih sangat terbatas pengetahuannya mengenai SRH, Mbak. Padahal itu adalah pengetahuan mendasar sebagai makhluk hidup. Manfaatnya dapat dirasakan sejak dalam kandungan hingga liang lahat,” kata perempuan yang juga aktif menulis di note facebook itu. Kegelisahan itu tersalurkan ketika Ninik mudik. Ia mengadakan pelatihan bagi seluruh pengurus pondok putri dan guru PAUD, serta beberapa ibu nyai.
Setelah pelatihan itu Ninik menjadi konsultan pribadi bagi alumni pelatihan yang difasilitasinya melalui SMS, telpon bahkan YM dan FB chat. Berbagai curhatan mulai dari menjaga kebersihan diri, keputihan, menstruasi hingga alat kontrasepsi dan orgasme pada perempuan diladeni Ninik. Untuk menambah pengetahuan, Ia bergabung dengan FSI, Forum Seksualitas Indonesia, yang anggotanya terdiri dari kaum muda dari berbagai latar belakang dan konsen pada isu SRH. Ninik juga menjadi pendidik sebaya untuk kalangan terbatas (hanya kepada beberapa teman) setiap ada kesempatan.
Walaupun begitu, kegelisahan Ninik belum juga surut. Ia masih menginginkan sebuah kegiatan yang berkesinambungan bagi pesantrennya agar SRH menjadi pengetahuan semua santri dan pengurus. Atas restu Ibu dan Abahnya, terjalinlah kerjasama dengan Rahima program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) bagi remaja di komunitas Muslim. Tak ingin egois – dan atas rekomendasi dari orang tuanya – diajak pulalah 4 pesantren lain di Banyuwangi Selatan untuk program PKRS itu. “Mempelajari kesehatan reproduksi (kespro) tak akan lengkap tanpa mempelajari seksualitas. Karena kespro bagian dari seksualitas. Seksualitas itu segala sesuatu yang menyangkut hidup manusia sebagai makhluk sosial, yaitu emosi, perasaan, kepribadian dan sikap yang berkaitan dengan perilaku seksual dan orientasi seksual,” urai pemilik ijasah Akta Empat itu.
Kesibukan kuliah membuat Ninik tak dapat mengawal program PKRS secara penuh. Ia lalu mengajak adiknya, Zulfi, untuk aktif dalam program itu. “Aku ingin adikku bisa juga melihat sisi lain dari sebuah kehidupan. Terlibat dalam program ini dapat membuatnya memiliki cara pandang baru, yakni cara pandang kritis, yang memihak kepada kelompok lemah,” ucapnya.
Cara pandang baru itu sesekali menimbulkan gesekan dengan pihak lain yang berbeda cara pandang. “Aku anggap itu sebagai tantangan perjuangan. Dan, semangatku ini terinspirasi dari Mbah Syafa’at. Beliau bersedia menerima pengetahuan baru asal tidak bertentangan dengan spirit Pesantren. Nah, semangat dan ajaran Mbah Syafaat ini yang aku bawa kemana-mana. He is my inspiration!!” Ninik menutup wawancara kami [dani]