KEMERDEKAAN DAN KETELADANAN
Sidang bersama DPD RI dan DPR RI dengan agenda tunggal mendengarkan pidato Kenegaraan Presiden RI Joko Widodo yang digelar 14 Agustus 2015 lalu dalam rangka HUT ke-70 Kemerdekaan RI melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Mereka berasal deri berbagai daerah yang diundang untuk mendengarkan pidato Presiden Joko Widodo. Mereka diwadahi dalam istilah Delegasi Teladan. Selain mengikuti Sidang Bersama, mereka juga mengikuti Upacara 17 Agustus di Istana Negara Jakarta dan juga diundang Presiden Joko Widodo bersilaturrahmi dan ramah tamah di Istana Kenegaraan Bogor, 18 Agustus 2015.
Delegasi Teladan tersebut terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang dipilih melalui sejumlah Kementerian. Mereka ada yang petani teladan, lurah teladan, bupati teladan, guru dan kepala sekolah/madrasah teladan, penyuluh gizi teladan, siswa-siswi berprestasi dan teladan, keluarga (sakinah) teladan, dan lain sebagainya, yang jumlahnya kira-kira 3500-an orang. Keterpilihan mereka sebagai delegasi teladan tentu melalui proses yang panjang.
Boleh jadi, para teladan tersebut berbangga hati dan senang karena diundang dan bisa hadir di Gedung DPR RI, mengikuti upacara 17-an di Istana Negara Jakarta dan bersilaturrahmi dengan Presiden di Istana Kenegaraan Bogor. Namun, penulis berpikir lain.
Mengundang mereka untuk hadir pada kegiatan-kegiatan tersebut tidaklah cukup, apalagi mereka hanya duduk dan mendengarkan. Justru sebaliknya, kita harus mendengarkan mereka dan belajar dari mereka. Apa yang telah mereka lakukan harus difasilitasi untuk didiseminasikan ke seluruh rakyat Indonesia. Mereka adalah contoh-contoh konkret yang harus disosiliasikan, contoh-contoh konkret yang harus dipublikasikan agar semua orang mengetahui dan bisa mensuritauladaninya.
Di tengah krisis keteladanan, mereka hadir seperti oase di padang pasir yang siap memuaskan dahaga kita. Mereka adalah sekumpulan nilai etik, etos dan moralitas yang diberikan masyarakat kepadanya dalam berbagai peran sosial, budaya dan agama. Nilai-nilai tersebut dibangun di atas ketekunan, kesabaran, integritas, komitmen dan dedikasi yang tinggi.
Usai sidang, penulis iseng menemui dua delegasi tersebut. Salah satu delegasi teladan tersebut adalah penyuluh gizi. Di tempat ia bekerja ada empat kasus anak terkena gizi buruk. Hasil investigasinya menyebutkan anak dengan gizi buruk tersebut karena tidak mendapatkan ASI (Air Susu Ibu) yang memadai. Akhirnya, ia—dengan caranya sendiri—memberikan ASI kepada empat anak tersebut hingga mereka memenuhi minimal persyaratan gizi. Tidak hanya itu, ia juga melakukan pendidikan secara masif kepada ibu-ibu hamil di lingkungannya tentang betapa pentingnya ASI. Bahkan ia menyimpulkan bahwa kualitas masyarakat Indonesia ditentukan pada kualitas pemberian ASI kepada bayi-bayi Indonesia. Setelah itu ia melakukan itu semua dengan dedikasi dan komitmet yang tinggi, kasus gizi buruk tidak terjadi lagi.
Delegasi teladan lainnya yang penulis temui adalah kepala madrasah. Kepala ini bercerita kalau dia adalah orang pertama yang masuk sekolah. Dialah yang menyambut siswa-siswi datang ke sekolah. Dia tidak mau siswa-siswinya datang ke sekolah, namun yang menyambut mereka adalah satpam. Ia juga tidak akan pulang ke rumah, sebelum semuanya (baik siswa maupun guru) pulang. Ia melakukan ini hanya semata-mata agar semua siswa-siswi dan guru-guru percaya kepadanya. Dengan bekal kepercayaan itulah, ia merintis madrasah tersebut sebagai madrasah riset. Hasilnya, siswa-siswi mereka memiliki prestasi yang keren di bidang akademik dan riset.
***
Dua delegasi teladan tersebut memberikan contoh dan pelajaran kepada kita bahwa hidup itu harus memiliki passion pengabdian dan dedikasi kepada sesama untuk mendapatkan makna hidup yang lebih tinggi, agung dan suci. Jalan yang mereka tempuh adalah ‘jalan sunyi’ yang tidak semua orang mau melakoninya. Jalan sunyi itu adalah jalan ideal bagi orang-orang yang sudah merdeka, merdeka di tengah-tengah godaan pragmatisme, konsumtivisme, materialisme dan hedonisme kehidupan ini dan merdeka dari kepentingan apapun. Yang mereka punya adalah ketulusan untuk melayani dan melenyapkan kepentingan pribadi. Jadi, keteladanan adalah kemerdekaan untuk mengisi hidup ini dengan nilai-nilai profetik yang jauh lebih mulai dalam praksis kehidupan di sekitar kita.
Delegasi-delegasi teladan itu sebetulnya kritik bagi para pemimpin negeri ini. Bercerminlah kepada mereka. Singkat kata, success story mereka sebagai tokoh teladan sangat diperlukan. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh teladan harus senantiasa dilahirkan, dihadirkan, dipublikasikan, diekspos dan didiseminasikan. Media-media harus memiliki kesadaran ini dan berpihak pada kepentingan ini, bukan kepentingan pragmatis industri.
Di akhir pembicaraan penulis dengan salah satu delegasi teladan tersebut, sayup-sayup terdengar suara lirih yang mengkritik snack yang disuguhkan kepada para delegasi. Ia berkata: “Loh kok rotinya Hollan Bakery? Mana nasionalismenya?”
Dan seketika itu, penulis menimpalinya: “Semoga tahun depan tidak seperti ini dan lebih baik lagi.”[]