Apa bedanya seorang ambisius dan pejuang?
Beberapa waktu lalu seorang kawan menyebut saya sebagai “seseorang ambisius.” Sempat kaget ketika tiba-tiba dalam obrolan di Yahoo Messenger dia menulis kata-kata itu dengan huruf besar dan di bold.
Apakah ketika memilih untuk melanjutkan sekolah kembali lalu saya pantas mendapat julukan ambisius?. “Bagaimana kamu tidak ambisius, selama ini kamu sudah meninggalkan anak kamu untuk sekolah, eh sekarang master sudah ditangan masih belum puas.” Itu komentar teman saya ketika saya berusaha membela diri.
Selama ini saya tidak pernah merasa menjadi sosok yang ambisius, karena di banyak hal saya tetap harus mengalah dan bernegosiasi. Jujur bila menuruti kemauan, saya masih ingin melanjutkan sekolah di luar negeri, tapi karena banyak pertimbangan, terutama keluarga saya memutuskan untuk mengambil program doctoral di Indonesia.
Mungkin sebagian orang bepikir alasan itu adalah semacam excuse saja buat pilihan saya, karena bagaimanapun jelas-jelas saya tidak mau menunda sekolah barang satu semester. Saya hanya memiliki waktu dua bulan setengah dari jarak kelulusan dari Asian Studies department di University of Hawaii dengan degree yang akan saya ambil. Itupun tetap harus terpotong dengan kegiatan akademik lainnya, seperti conference.
Dalam pikiran kebanyakan orang, salah satunya saya sendiri, kata-kata ambisius selalu identik dengan sifat negative yang tidak mau kalah dan menang sendiri. Kata egois hampir selalu disandingkan dengan ambisius. Contoh simple saja, ketika seseorang yang tidak memiliki background politik tiba-tiba maju mencalonkan diri menjadi anggota legislative. Sering kali kita mendengar sindiran nyinyir kalau orang tersebut terlalu berambisi untuk merebut kursi dewan hanya untuk mengejar kekayaan.
Saya bukan ahli linguistic tapi secara kasat mata saja sebenarnya kata ambisi asosiasinya bukan hanya negative tapi juga positif. Ketika seseorang mengejar impiannya dan tidak mau menyerah orang tersebut bisa masuk kategori ambisius. Tentu dalam konteks ini kesan yang ditimbulkan adalah baik. Memang dalam melihat kata-kata harus disandingkan dengan konteks. Dan selama ini ambisius selalu di sejajarkan dengan sesuatu yang negative.
Lalu apa bedanya ambisius dan pejuang?. Menurut pendapat saya yang awam pada masalah bahasa, dua kata tersebut memiliki arti yang sama yakni usaha untuk mencapai sesuatu. Berbeda dengan ambisius, kata “pejuang” dipandang berjajar erat dengan hal positif yang akan dicapai. Orang akan kelihatan sangat hebat bila dia memiliki label sebagai “Pejuang,” semisal pejuang tanah air, pejuang yang membela agama, bahkan pejuang cinta selalu dipandang positif.
Apakah orang seperti saya tidak pantas disebut pejuang juga?. Jelas-jelas saya sedang berjuang untuk menghilangkan kebodohan, berjuang memperbaiki nasib, berjuang untuk mencapai cita-cita. Tapi mungkin semua perjuangan saya tersebut tertutupi dengan kenyataan saya sebagai seorang perempuan yang memiliki dua orang anak. Label “Ibu teladan” atau “Ibu Baik” hanya boleh disematkan pada orang yang mencurahkan perhatian dan hari-harinya di sisi anaknya, bukan seorang Ibu yang sering meninggalkan anak-anaknya untuk sekolah seperti saya. Kalau seorang Ibu pergi ke luar negeri untuk menjadi TKW, jelas mereka pulang dengan sesuatu yang kasat mata yakni uang. Lalu bagaimana seorang yang dijuluki “ambisius dalam sekolah’? apa yang dibawa pulang?. Ilmu tentu tidak kasat mata seperti halnya materi.
Lalu saya memilih menjadi apa? Saya sendiri tidak perduli dengan label yang akan saya terima, bagi saya ketika saya melangkah ada tiga hal yang tidak bisa lepas yakni, keluarga, komunitas, dan karir. Dengan label ambisius maupun pejuang, tiga hal tersebut tetap menjadi prioritas tujuan.
Enjoy aja.