Stop! Kekerasan Seksual terhadap Buruh Perempuan
1 Mei merupakan hari buruh dan diperingati oleh jutaan buruh di seluruh belahan dunia dengan turun ke jalan. Untuk menghormati perjuangan kaum buruh, dibeberapa negara, tanggal 1 Mei bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional, tak terkecuali Indonesia.
Dalam perayaan rutin may day di Indonesia, hampir semua serikat-serikat buruh menggelar aksi demonstrasi di ‘hari raya’ kaum buruh ini. Pada dasarnya, kaum buruh dari beberapa serikat buruh bergerak dan mengusung tuntutan kesejahteraan, seperti naiikkan upah, jaminan kerja, kesetaraan gender, kebebasan berserikat, dan lain sebagainya.
Sampai saat ini, kekerasan seksual terhadap kaum buruh perempuan masih marak terjadi di negara tercinta kita Indonesia. Kasus kekerasan seksual terjadi dalam bentuk yang beragam. Dari yang non fisik (seperti memperlihatkan kemaluan/penis, memfoto dan merekam korban saat mandi dan menyebarluaskannya) hingga kontak fisik yang dilakukan di tempat kerja yang dilakukan oleh atasannya. Hal ini tentu menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua, khususnya kaum buruh perempuan untuk terus merumuskan isu-isu strategis dan mengorganisasikan kepentingannya sehingga kaum buruh perempuan merasa aman dan nyaman dalam bekerja.
Pada ‘hari raya’ kaum buruh ini, sudah selayaknya kita bersama-sama untuk mengibarkan panji-panji perjuangan dan mengakhiri kekerasan seksual terhadap kaum perempuan mengingat posisinya yang sangat rentan pelecahan seksual dan ekploitasi. Buruh perempuan semestinya diproteksi melalui payung hukum dan undang-undang yang berpihak kepada kepentingan kaum prempuan yang selama ini memang masih dieksploitasi.
Persoalan Diskriminasi dan Pelecehan Seksual Buruh Perempuan
Diskriminasi sebagaimana disebutkan Maggie Humm (1995) di dalam bukunya Dictionary of Feminist Theories merupakan perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap perempuan yang didasarkan pada keyakinan patriarkhis bahwa perempuan memiliki atribut yang tidak dikehendaki. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa, diskriminasi secara statistik berarti bahwa setiap perempuan bisa ditolak dalam sebuah pekerjaaan bukan hanya karena dia adalah seorang perempuan, namun karena dia dianggap secara statistik lebih cenderung memperhatikan keluarga dibandingkan dengan laki—laki.
Di Indonesia, buruh perempuan masih mengalami ketidakadilan berbasiskan gender. Bentuk ketidakadilan itu beraneka-ragam, dan lebih dikarenakan sistem sosial kita yang masih patriarkis dan kapitalistis. Ketidakadilan yang dialami dan dirasakan paling berat bagi perempuan berdasarkan gender adalah kekerasan dan pelecehan seksual.
Di dalam Catahu (catatan tahunan) 2017 Komnas Perempuan disebutkan bahwa, Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22%), di mana kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74%), diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%; yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3%), buruh migran 90 kasus (3%); dan trafiking 139 kasus (4%). Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus).
Menurut Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih, dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, setidaknya sudah ada 25 kasus pelecehan seksual yang terjadi sejak tahun 2012. Tindakan asusila seperti diraba-raba, diintip saat buang air kecil, diperkosa, dipaksa kencan merupakan hal yang biasa dialami buruh perempuan. Hal ini seringkali mengakibatkan buruh perempuan traumatik dan menganggapnya sebagai aib sehingga tidak melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Di tahun 2010 misalnya, seorang karyawan perempuan bank perkrediatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah mengalami pelecehan seksual yang dilalukan oleh atasannya. Pada saat itu, para karyawan sedang melakukan senam rutin setiap hari Jum’at dan saat sedang senam tiba-tiba atasannya memegang pantatnya dari belakang.
Kekerasan dan pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada buruh perempuan pabrik, melainkan juga terjadi pada para jurnalis perempuan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, setidaknya ada 19 kasus pelecehan seksual yang dialami jurnalis perempuan sepanjang tahun 2016. Sebagai contoh, di Jawa Timur, seorang jurnalis perempuan yang sedang magang mengalami pelecehan seksual oleh redaktur seniornya di tempat kerja.
Proteksi Buruh Perempuan dari Kekerasan Seksual
Mengingat tingginya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap buruh perempuan di lingkungan kerja, sudah sebaiknya jika para buruh perempuan itu diproteksi melalui undang-undang maupun kebijakan yang berpihak pada kepentingan buruh perempuan itu sendiri. Proteksi ini saya kira sangat penting bagi buruh perempuan karena mereka sangat rentan terhadap pelecehan seksual. Posisi mereka yang terpinggirkan dari sistem amat sangat berbahaya terhadap eksploitasi tubuh.
Di sisi lain, pada ranah gerakan, saya pikir sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk melakukan sinergisitas diantara pemangku kepentingan di dalam memperjuangkan kepentingan buruh perempuan. Terfragmentasinya perjuangan buruh harus segera di jembatani, diartikulasikan, dan diagregasikan melalui saluran prosedural parlemen. Sinergisitas gerakan perempuan dengan parleman ini sepertinya memang menjadi kebutuhan yang sangat krusial agar perjuangan tersebut mengkerucut, serta berhasil sesuai yang dicita-citakan bersama.
Pada tanggal 06 April 2017 lalu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU KS) telah disahkan diparipurna menjadi RUU inisiatif DPR. RUU ini sedang akan dibahas ke tingkat lebih lanjut. Saya kira, di sinilah jantung perjuangan menemukan momentumnya. Penting kiranya kelompok buruh perempuan secara aktif mengawal isi dari RUU ini supaya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Kaum buruh perempuan perlu memanfaatkan momentum ini guna memastikan bahwa apa yang menjadi kegelisahan dan masalah yang dihadapi selama ini dapat terartikulasikan dengan tepat pada pasal-pasal dalam RUU tersebut.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, tentu DPR RI selalu terbuka menerima masukan dari semua elemen masyarakat. Kaum buruh perempuan bisa saja meminta rapat dengar pendapat dengan DPR RI untuk menyuarakan masalah-masalah kekerasan seksual yang mereka alami selama ini. Kami akan sangat senang menerima dan mendengarkan segala masalah-masalah yang dihadapi, serta masukan-masukan untuk RUU KS.
Pemenuhan rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual adalah tujuan utama kami dalam mendorong dibahas dan disahkannya RUU ini. Berbagai masukan dari civil society organizations, terutama para korban menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembahasan RUU ini.