Perempuan Dalam Pusaran Kekerasan Seksual
Oleh Nihayatul Wafiroh (Pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual)
Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling sering dialami oleh anak-anak dan perempuan. Hingga saat ini, kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia semakin masif terjadi dan kondisinya semakin memprihatinkan. Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2017 Komnas Perempuan, disebutkan bahwa, setidaknya ada sekitar 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Kasus kekerasan seksual di ranah KDRT/personal tahun ini, perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus , diikuti pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Di tahun ini juga data perkosaan dalam perkawinan disebutkan sebanyak 135 kasus dan menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah KDRT/personal adalah pacar sebanyak 2.017 orang. Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22%), di mana kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74%), diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%; yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3%), buruh migran 90 kasus (3%); dan trafiking 139 kasus (4%). Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus).
Mengingat tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia, perlu kiranya usaha-usaha yang komprehensif untuk mencegah segala tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan. Semestinya perempuan diproteksi sebaik mungkin melalui serangkaian kebijakan.
Bentuk Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual bisa terjadi di mana dan kapan saja. Kekerasan terhadap perempuan perupakan manifestasi dari relasi kekuasaan yang secara historis timpang antara laki-laki dan perempuan, baik di tataran individu maupun dalam masyarakat. Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan kekerasan atau serangan yang secara spesifik yang ditujukan terhadap alat reproduksi korban. Tujuannya adalah merusak, menghancurkan, menghina korban, dan pada saat yang bersamaan, kekerasan seksual merupakan upaya mempertontonkan keperkasaan, otoritas, dan hegemoni kekuasaan pelakunya. Berdasarkan studi yang dilakukan Nicholas Groth, pelaku melakukannya karena dorongan untuk menguasai (power desire) dan kemarahan (anger). Pelaku melakukan kekerasan seksual entah sebagai manifestasi dari keinginan untuk melakukan kontrol dan dominasi atau sebagai ungkapan dari kemarahan/rasa permusuhan (hostility) kepada perempuan (korban).
Komnas Perempuan menyebutkan setidaknya ada 15 jenis kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia. 15 jenis kekerasan seksual itu diantaranya adalah perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan (termasukcerai gantung), pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan yang terakhir adalah kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Berdasarkan hasil kajian Komnas Perempuan, hanya 9 jenis yang dirumuskan sebagai tindak pidana pidana dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Tidak semua dari 15 jenis kekerasan tersebut mempunyai unsur subyektif dan unsur obyektif sebagaimana diisyaratkan dalam pengaturan kriminalisasi hukum pidana. Oleh karena itu, jenis kekerasan seksual yang merupakan praktik, tradisi dan kebijakan, tidak harus diselesaikan dengan pengaturan pidana. Namun, kekerasan seksual perlu diintervensi juga melalui pendidikan dan penyebarluasan informasi. Hal ini khususnya pendidikan dan informasi tentang bagaimana berbuat adil gender tanpa mendiskriminasi perempuan, memperbaiki praktik-praktik budaya di masyarakat yang masih merugikan perempuan. 9 kategori kekerasan seksual itu diantaranya adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Mendidik Pengetahuan Seksual Sejak Dini
Salah satu usaha untuk mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan adalah memagarinya dengan undang-undang. UU Pencegahan Kekerasan Seksual merupakan solusi penting untuk melindungi perempuan dari kondisi darurat kekerasan seksual. Hingga saat ini, RUU Pencegahan Kekerasan Seksual telah memasuki pembahasan tahap I di DPR.
Selain undang-udang yang berpihak pada perempuan, pendidikan seksualitas saya kira juga sangat penting untuk meminimalisir kekerasan seksual. Secara teoritis, pendidikan seks sebagaimana dituturkan Syamsudin (1985) merupakan “sebagai usaha untuk membimbing seseorang agar dapat mengerti benar-benar tentang arti dan fungsi kehidupan seksnya, sehingga dapat mempergunakannya dengan baik selama hidupnya.”
Pendidikan seksual sejak dini sangat dibutuhkan sebagai usaha preventif atas kekerasan seksual terhadap perempuan. Pendidikan seks sejak dini berguna bagi anak dalam mengembangkan segala potensi diri, kepercayaan diri, pembentukan kebribadian yang sehat bagi dirinya, serta pertahanan diri dari segala ancaman atau bahaya kekerasan seksual. Untuk itu, keluarga dan linkungan menjadi faktor penting dalam pendidikan seksual. Pendidikan yang dimaksud tidak semata melalui jalur institusi formal melainkan juga melibat sektor informal pendidikan.
Sat ini, kendala dan tantangan mendasar bagi pendidikan seksual sejak dini adalah konstruksi masyarakat yang menganggap bahwa seks adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan terlebih bagi anak. Oleh karena itu, peran orang tua dalam pendidikan seks sejak dini sangat penting dilakukan mengingat orang tua adalah orang terdekat dari anak.
Sebelum mengedukasi anak mengenai seks, orang tua harus memahami terlebih dahulu pengetahuan-pengetahuan mengenai seksualitas. Pertama, self defense system. Self defense system merupakan cara anak melindungi diri dari kekerasan seksual. Orang tua perlu memberikan pemahaman kepada anak dengan memperkenalkan pada anak nama-nama organ tubuh dan organ reproduksi serta fungsinya. Kediua, left brain system. Yaitu mengajarkan pendidikan seks melalui otak kiri anak, dengan kata lain merespon seks dari kacamata sains. Pendidikan seks yang ditangkap melalui otak kiri akan merespon bagian tubuh sebagai anggota tubuh biasa yang mempunyai fungsinya masing-masing. Ketiga adalah brain response system. Brain response system berguna agar anak memiliki daya tolak jika ada ancaman pelecehan terhadap dirinya. Sebagai contoh adalah anak akan berteriak meminta pertolongan jika ada orang lain menyentuh organ vitalnya.
Mengingat tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan, penting kiranya pendidikan seksualitas masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. Pendidikan seksualitas ini diharapkan memuat materi pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, kesehatan seksual, gender, dan kesetaraan gender. Selain proteksi sejak dini, tujuan dari pendidikan seksualitas adalah terjadinya relasi saling menghargai, mengerti serta memahami bagaimana bersikap bijak secara seksual. Dengan begitu, akan tumbuh subyek-subyek baru yang dapat memahami kondisi korban kekerasan seksual. Dengan kata lain memotong rantai tindakan kekerasan seksual secara sistematis dan terstruktur serta gradual melalui pendidikan.