Mengapa Harus Perpustakaan Komunitas ?
Artikel ini telah dimuat di Radar Banyuwangi
Dari pertengahan 2006 hingga paruh 2009 saya menempuh pendidikan Master di Hawai, Amerika Serikat. Ada hal yang mengusik hati saya selama tinggal di negara Obama ini, yakni keberadaan perpustakaan. Hampir di tiap distrik (wilayah setingkat kecamatan di Indonesian) ada satu perpustakaan umum yang dikelola oleh pemerintah dan diperuntukkan kepada masyarakat luas. Perpustakaan ini biasanya berada di lokasi yang ramai dikunjungi masyarakat, semisal di distrik Manoa, Hawaii. Perpustakaan di wilayah ini bergandengan dengan pasar yang berada di lembah bukit Manoa. Sebagai mahasiswa internasional, yang jelas bukan masyarakat lokal, juga bisa dengan mudah mengakses perpustakaan umum tersebut. Pernah suatu hari saya masuk ke perpustakaan tersebut, saat itu sedang ada sesi Telling Story atau bercerita. Sesi ini diperuntukkan untuk anak-anak balita. Ada sekitar sepuluh anak yang duduk melingkar mengelilingi seorang pencerita yang duduk di kursi kecil. Kegiatan ini dilakukan tiga atau dua kali dalam seminggu.
Ketika saya berbincang dengan seorang teman dari Indonesia yang cukup lama hidup di Amerika yang saat itu kebetulan membawa anak-anaknya yang masih usia Sekolah Dasar, dia bilang kalau perpustakaan umum tersebut disamping pelayanannya bagus, dan welcome untuk semua umur, juga sangat mensupport anak-anak untuk menjadi pecandu buku. Caranya macam-macam, ada yang dengan memberikan stimulus hadiah untuk anak-anak yang dalam seminggu bisa membaca beberapa buku dan bisa menjawab kuis yang pertanyaannya dari buku-buku tersebut, ada pula dengan memberikan buku-buku gratis kepada anak-anak.
Perpustakaan yang tertata bersih dan friendly kepada anak-anak bukan hanya saya jumpai di Amerika namun juga di Melbourne, Australia. Salah satu tempat yang saya kagumi dari kota pelajar Melbourne adalah Victoria Library State. Perpustakaan ini berada di tengah keramaian kota Melbourne, dengan bangunan yang mencapai beberapa blok dan berarsitektur model Eropa kuno. Di dalam perpustakaan yang bertingkat lima ini ribuan buku tertata rapi, dan yang paling menarik adalah ada satu sisi di bagian depan perpustakaan yang diperuntukkan untuk anak-anak. Di bagian anak-anak ini yang ada bukan saja buku-buku tapi juga permainan. Jadi sangat ideal untuk tempat belajar dan bermain bagi orang tua dan anak.
Bila di negara-negara maju dorongan untuk menjadi pencinta buku telah dimulai sejak dini, maka tidak mengherankan bila masyarakat di negara tersebut tumbuh menjadi pencinta buku. Lalu bagaimana dengan di Indonesia ??
Mari kita lihat di kabupaten Banyuwangi tercinta ini. Sepanjang pengetahuan saya, hanya ada satu perpustakaan daerah yang bertempat di kota Banyuwangi. Untuk wilayah-wilayah selevel kecamatan ataupun desa, perpustakaan untuk masyarakat masih sangat langka. Jangankan perpustakaan, koran mading atau koran yang dipasang di tempat umum yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat luas masih jarang terlihat.
Sudah saatnya kita memikirkan bahwa pengembangan masyarakat harus dilakukan dari dua sisi yakni sumberdaya alam dan sumberdaya manusia (SDM). Saya percaya ilmu pengetahuan adalah kunci utama pengembangan SDM, dan pada gilirannya ilmu pengetahuan juga akan berkembang bila kita telah menyadari pentingnya membaca. Bagi banyak orang, mereka mencukupkan diri hanya dengan membaca buku-buku yang tersedia di sekolah saja, dan membatasi diri belajar hanya di bangku sekolah. Tapi sebenarnya banyak sekali ilmu pengetahuan yang bisa kita raih dari buku-buku yang tidak disediakan di bangku sekolah. Satu lagi, yang memerlukan membaca tentunya bukan hanya anak-anak yang berada di sekolah. Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang sudah berjibaku dengan pekerjaanpun juga membutuhkan membaca.
Sekedar gambaran, ketika tahun 2009 saya merintis perpustakaan komunitas di dusun Blokagung, Karangdoro, Tegalsari, seorang ibu rumah tangga mendekap erat buku yang berjudul “Tafsir Ar-Ra’yi.” Menurut hemat saya sekilas, buku tersebut lumayan berat, namun Ibu itu bilang,”Saya tidak mau hanya sekedar hafal al-Quran tapi tidak mengetahui ilmu tafsir, makanya saya senang sekali menemukan buku ini.” Sebenarnya beberapa buku yang ada di perpustakaan komunitas tersedia di perpustakaan sekolah, namun perpustakaan sekolah biasanya hanya dapat diakses oleh murid-murid sekolah tersebut, tidak untuk masyarakat secara umum. Ibu-ibu juga menggunakan perpustakaan komunitas untuk meminjam buku anak-anak, buku tersebut dibacakan untuk anak-anak mereka sebelum tidur.
Cerita lain, ada seorang pelajar SMA yang menitikkan air mata ketika menemukan novel Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer. Menurut gadis yang kutu buku ini, sejak lama ingin membaca buku ini, tapi harganya sangat mahal dan untuk membelinya harus menempuh jarak yang sangat jauh. Jadi ketika menemukan buku tersebut di perpustakaan komunitas, dia seperti menemukan mutiara.
Kehausan akan buku bacaan sudah seharusnya ditangkap secara positif oleh pemerintah. Di Banyuwangi ada 24 kecamatan dan ratusan desa, idealnya setiap desa memiliki satu perpustakaan komunitas. Dengan adanya perpustakaan yang terjangkau tempatnya, akan memberikan peluang kepada masyarakat luas untuk mengakses lebih mudah. Pembangunan perpustakaan ini sebenarnya bisa dimasukkan dalam RPJMDes, dengan begitu pemerintah desa dan pemerintah daerah bertanggungjawab untuk mendirikan perpustakaan komunitas ini.
Namun adanya perpustakaan komunitas juga harus dibarengi dengan skill pengelolaan perpustakaan yang baik. Pengelolaan ini meliputi manajemen dan promosi perpustakaan, hingga dapat mendorong dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya membaca kepada masyarakat. Saya berkeyakinan bahwa bila mengunjungi perpustakaan dan membaca telah menjadi kebiasaan masyarakat sebagian cita-cita bangsa, yakni pembangunan manusia seutuhnya, bukan mustahil akan tercapai.