Indonesia beberapa minggu ini penuh berita yang mengerikan. Mulai dari kejadian jatuhnya pesawat yang dikatakan super canggih hingga rusuh di mana-mana. Rusuh karena kedatangan Irshad Manji, aksi ogal-ogalan geng motor, penolakan pembangunan gereja hingga bentrok antar kelompok, dan tentu saja soal situasi politik yang semakin membuat telinga dan hati panas.
Menanggapi beberapa kejadian tersebut, saya yang tipe orang reactive tentu langsung mengeluarkan tanggapan via Fb, twitter dan juga BBM. Dan pola piker saya yang sangat menolak segala bentuk kekerasan dan sangat menjunjung tinggi perbedaan, semuanya tertuang jelas dalam reaksi-reaksi yang saya tulis. Dan seperti biasa, pro dan kontra muncul, hingga dalam beberapa hari di twitter saya mendapat banyak respon yang keras sekali. Namun banyak juga yang bertanya bagaimana saya sampai pada posisi yang terbuka terhadap perbedaan.
Dalam tulisan ini saya ingin bercerita tentang proses yang saya alami sehingga saya sampai pada posisi terbuka terhadap perbedaan.
Masa Kecil
Orang tua saya, terutama Abah, H Mudhofar Sulthon, orang yang memiliki pergaulan luas. Dibanding dari saudara-saudara yang lain, abah terbilang cukup luwes untuk masuk dan diterima kelompok lain. Background abah yang berasal dari keluarga petani dan bukan pesantren, juga kebiasaan abah untuk membangun silaturrohmi dengan banyak kalangan membuat Abah bisa berteman dengan siapa saja.
Saya anak pertama dari empat bersaudara. Saya sering sekali diajak abah untuk pergi ke mana-mana. Bahkan saya, Ibu dan Abah pernah mengeksplore pulau jawa dan singgah ke maqam Wali songo dengan memakai kendaraan umum, jadi tidak ikut rombongan seperti yang sekarang banyak dilakukan. Saya juga sering diajak naik motor untuk menjelajah Bali. Hingga adek-adek saya lahir, Abah sering membawa kami untuk eksplore banyak tempat ketika liburan.
Salah satu hal yang menarik dari Abah saya, beliau mau berteman dengan siapapun, termasuk dengan Cina. Abah memiliki teman akrab, namanya Ambing. Dia pengusaha percetakan di kota kecil kami. Dia orang Cina. Bagi orang masa itu dan di juga di lingkungan kami, persahabatan abah dengan Ambing adalah hal yang tidak lumrah. Bagaimana mungkin seorang yang bertitle Haji dan menantu dari seorang Kyai bisa bersahabat dekat dengan Cina yang non-muslim ? Karena pertemanan orang tua ini, kami pun anak-anaknya juga sangat dekat dengan Ambing. Persahabatan Abah bermula ketika abah mulai mencetakkan beberapa kitab di tempat Ambing. Hubungan yang semula hanya berdasarkan bisnis, lambat laun berkembang seperti saudara. Walaupun sekarang Abah tidak pernah mencetakkan di Ambing, tapi keduanya masih kontak dan saling mengunjungi.
Abah mungkin tidak sadar kalau persahabatannya ini adalah landasan awal bagi saya untuk berpikir terbuka. Dari situ Abah mengajarkan bahwa kita bisa bersahabat dengan siapa saja. Bersahabat tidak harus dengan orang muslim saja, tidak mesti dengan orang yang sama etnis saja, itu pesan secara tidak langsung dari Abah. Walaupun hingga saya beranjak dewasa saya tidak memiliki teman dari kelompok yang berbeda dengan saya, tapi pengalaman masa kecil itu sangat membekas pada diri saya. Sehingga ketika sudah besar saya tidak pernah takut membangun komunikasi dan persahabatan dengan kelompok di luar circle saya. Matur nuwun Abah. Love you so much
Apa itu Filsafat ?
Ketika saya nyantri di Tambakberas Jombang, salah satu mata pelajaran di MMA (Madrasah Muallimin Mu’allimat Atas) adalah Tauhid. Saya lupa nama kitabnya dan kelas berapa saya belajar itu. Yang saya ingat salah satu inti pelajarannya yakni tentang keharaman belajar filsafat. Menurut guru saya saat itu Filsafat itu ilmu yang merusak iman dan aqidah, jadi tidak boleh dipelajari. Saya yang masih usia sekitar 15-16 tahun tentu saja belum tahu apa itu ilmu filsafat.
Ketika menerima pelajaran itu saya sempat berpikir kenapa ya kok sampe ada ilmu yang dilarang untuk dipelajari ? terus temanku itu namanya Muhimma Falasifa (Falasifa dari bahasa arab Filsafat), kok orang tuanya memberi nama itu ya, padahal orang tuanya Kyai, masak beliau tidak tahu kalau filsafat itu dilarang ? Itu terus berkecambuk. Kegelisahan saya terhadap pertanyaan tentang filsafat semakin memuncak ketika saya tahu calon suami saya mengambil jurusan filsafat untuk S1-S2 nya, bahkan kakak calon suami saya S1 – S3 juga di Filsafat dan sekarang jadi dosen filsafat. Lho masak mereka mempelajari ilmu yang dilarang ??
Setelah menikah, saya mulai terusik untuk tahu lebih jauh tentang Filsafat. Saya mulai bertanya macam-macam tentang Filsafat ke suami, dan saya mulai melahap buku-buku suami yang notabene hampir semuanya berbau filsafat. Buku pertama yang saya baca adalah Dunia Sophie. Buku ini adalah semacam buku pengantar bagi pemula tentang filsafat, dan bentuk penulisannya adalah seperti novel. Jujur, tidak sekali baca saya langsung bisa paham, butuh tiga kali baca dan ditambah dengan Tanya-tanya akhirnya saya –sedikit- tahu maksud dari buku ini.
Saya juga mulai membaca tesis suami yang mengambil tema soal Filsafat Perenial oleh Frithjof Schoun, seorang penulis buku ‘The Transcendent Unity of Religions’. Saya juga membaca buku fenomenal karya al-Ghazali Tahafut al-Falasifa. Untuk mencarpai pemahaman yang lebih memadai, saya membaca biografi al-Ghazali dengan harapan saya bisa tahun latar belakang ulama hebat ini sehingga memutuskan untuk menulis kitab Tahafut al-Falasifa. Kemudian saya membaca buku jawaban dari karya al-Ghazali ini, yakni Tahafut at-Tahafut karya Ibnu Roes.
Dari seluruh pembacaan saya yang sangat dangkal ini saya memahami beberapa hal inti dari Filsafat: 1) Filsafat itu adalah metodologi berpikir. Jadi cara berpikir filsafat bisa diterapkan dimana saja dan untuk ilmu apa saja. 2) Ada perbedaan signifikan antara filsafat Yunani dan Filsafat Islam. Bila para filosof Yunani berhenti pada logika, filosof Islam masih mengembalikan pada sesuatu yang sifatnya transenden (Allah). 3) Bila melihat beberapa landasar berpikir filsafat, dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad dan al-Ghazali adalah seorang filosof hebat. Keduanya melakukan dobrakan yang luar biasa dengan melakukan perubahan-perubahan. Perubahan tersebut dilandaskan dengan cara menganalisis segala hal dengan menggunakan metodologi filsafat. 3) Tradisi berpikir filsafat bukan hal yang baru dalam Islam, sebab Nabi Muhammad telah memberikan landasan yang kuat tentang methodology berpikir ini. 4) Pelarangan al-Ghazali terhadap filsafat berangkat dari keprihatinan banyaknya filosof yang hanya menggunakan akal/rasio saja, tidak mengembalikan pada transenden. Al-Ghazali juga merasa takut bila banyak umat Islam yang yang belum mumpuni secara keilmuan lalu mempelajari Filsafat, ditakutkan mereka akan goyah keimanannya. Jadi intinya pelarangan ini adalah sifatnya bukan mutlak.
Andaikan saja ketika saya pertama mendengar bahwa filsafat itu dilarang lalu saya menerima begitu saja tanpa bertanya apa-apa (seperti, apa itu filsafat, kenapa dilarang, bagaimana perjalanan hidup al-Ghazali hingga sampe beliau melakukan pelarangan dll), tentu sekarang ini saya akan berada dibarisan paling depan untuk mengatakan TIDAK pada filsafat. Dari perjalanan saya belajar filsafat (hingga kemudian saya juga mengajar Filsafat umum dan Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Swasta), saya mempelajari sisi hikmah yang lain. Sebagai manusia saya tidak seharusnya mengatakan segala persoalan langsung white and black tanpa mengetahui secara keseluruhan dari persoalan tersebut. Dari sini saya belajar untuk tidak cepat-cepat mengclaim seseorang/kelompok yang memiliki pandangan berbeda dengan saya tanpa mengetahui pasti landasan menyeluruhnya mereka.
Cara berpikir seperti ini saya terapkan diseluruh hal yang saya hadapi dalam hidup. Dan ini membawa saya tidak mudah menjudge seseorang dan saya lebih terbuka menerima perbedaan. NOTED : menerima perbedaan bukan berarti selalu menyepakati. Sebagai ilustrasi, saya bisa menerima orang-orang garis keras dalam menyikapi atau memaknai Quran, tapi bukan berarti saya meng-IYA-kan dengan pemahaman mereka. Saya bisa menerima orang-orang LGBT memaknai/menafsirkan al-Quran tentang cerita Nabi Luth, tapi tidak serta merta saya juga bisa dikatakan SEPAKAT dengan landasan berpikir mereka. Dalam hati saya selalu terbesit “Ah, belum tentu mereka salah dan saya benar. Jangan-jangan saya saja yang belum tahu banyak tentang mereka sehingga saya merasa mereka salah,” nah konsekwensi dari itu semua, saya harus belajar atau mengetahui aliran-aliran/pemikiran yang berbeda tersebut, bukan untuk nantinya mengatakan ‘Kamu Salah’ tapi untuk mengetahui bagaimana landasar dan methodology berpikir mereka sehingga mereka sampai pada kesimpulan tertentu.
Banyak orang yang mengatakan cara berpikir saya tersebut menunjukkan saya tidak punya pendirian. Bagi saya agama adalah ruang interpretasi, cara beragama saya sekarang juga hasil interpretasi. Al-quran yang menjadi pedoman umat Islam di mata saya adalah seperti mutiara, yang tiap sisinya mengeluarkan cahaya. Siapa tahu cahaya yang saya tangkap berbeda dari cahaya orang lain tangkap, tapi bukankah itu sama-sama dari cahaya al-Quran??, dan keimanan sifatnya individual dan transcendent. Kita tidak bisa bertanya atau konfirmasi ke Allah keimanan dan pemahaman siapa yang paling benar, jadi bagi saya tidak bijak bila kita mengatakan orang lain salah. Yang terpenting adalah ketetapan hati pada apa yang kita yakini.
Untuk proses berpikir ini tentu yang paling memberikan pengaruh adalah suami saya. Seorang yang bergulat dengan filsafat selama bertahun-tahun, dan filsafat bukan menjadikan dia jauh dari Allah, malah filsafat yang semakin terus merekatkan untuk mendekatkan dia pada sang Pencipta. Matur nuwun mas J
Out of Box
“Cobalah berpikir out of box” itu kata-kata yang sering saya dengar, tapi saya dulu tidak paham apa maksudnya. Yang saya tahu ini cara berpikir yang tidak hanya terkungkung dalam circle yang selama ini kita eksis di dalamnya, tapi juga berpikir atau melihat sesuatu tentang diri kita dari luar circle kita. Simplenya kita memposisikan diri sebagai outsider ketika melihat circle kita. Dan cara berpikir ini adalah cara berpikir yang tidak serta merta mengikuti apa yang –umum dan lumrah- di sekitar kita tanpa melakukan kritik serta analisis lebih mendalam.
Ketika saya mendapatkan berkah untuk melanjutkan sekolah di Amerika buat level master, saya mulai memakai sejatinya makna dari “think out of box.” Saya belajar melihat Indonesia dari ‘luar’ diri saya yang orang Indonesia. Saya belajar melihat bagaimana orang-orang yang non Islam melihat Islam. Saya belajar menulis tentang pesantren dengan memposisikan diri sebagai orang yang tidak pernah tau sama sekali tentang pesantren, sehingga dalam menulis saya lebih detail.
Ada hal-hal pelajaran yang saya rasa penting dari proses ini : 1) saya belajar melihat dengan lebih objektif dari setiap persoalan yang ada di circle saya. 2) saya belajar untuk menahan ego sebagai insider. 3) saya belajar bahwa apa yang saya lihat tidak selalu sama dengan apa yang dilihat orang lain. 4) saya lebih bisa membangun empati dengan orang/kelompok yang di luar circle saya.
Menjadi Minoritas
Saya lahir dan besar di Indonesia, suku Jawa, beragama Islam, keluarga Pesantren, sekolah di lembaga Islam. Kombinasi yang sangat pas dan linier, dengan kombinasi tersebut nyaris tidak ada celah bagi saya untuk berada dalam posisi termajinalkan secara social, kecuali satu posisi yakni saya sebagai PEREMPUAN. Dan dengan komposisi itu saya bukan dari golongan minoritas. Hingga usia saya 26 tahun saya berada di kelompok mayoritas, baik secara agama, suku dan social. Dan tentu ini tidak memberikan ruang bagi saya untuk merasakan bagaimana hidup dan cara berpikir orang/kelompok minoritas.
Hidup di Amerika serta merta merubah posisi saya hingga secara drastis. Islam adalah agama minoritas, orang asia juga bukan kelompok yang mendominasi, saya mahasiswa dengan kemampuan bahasa dan financial yang sangat pas-pasan, terlebih saya berjilbab. Lengkap sudah kondisi ini meletakkan saya pada buttom line.
Ini pengalaman yang luar biasa, saya belajar bagaimana harus bisa menjelaskan tentang apa itu Islam, kenapa saya berjilbab, kenapa saya harus menahan haus dan lapas selama puasa Ramadhan dan tentunya saya juga tidak bisa lari dari pertanyaan tentang Indonesia-Islam-teroris. Pengalaman saya ketika harus pintar-pintar mencuri waktu untuk melakukan sholat di tengah pergantian jam pelajaran atau ketika saya harus nyempil di pojok ruangan kelas untuk melaksanakan sholat benar-benar membuat saya mengerti bagaimana rasanya menjadi kelompok minoritas.
Saya pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan ketika di imigrasi Hawaii karena petugas meminta saya untuk mencopot jilbab agar bisa diambil foto dengan telinga yang kelihatan. Belum lagi saya harus berlarian sepulang solat Idul Fitri untuk bisa mengejar ujian di kelas. Dan masih banyak hal-hal lain. Saya beruntung lingkungan tempat saya tinggal di Amerika mayoritas adalah orang yang sangat open, sehingga mereka cenderung memahami dan memberikan toleransi yang tinggi ketika saya melakukan ritual ibadah. Kalaupun ada yang macam-macam sifatnya hanya sekedar lewat ucapan saja, tidak sampai pada tindakan.
Tiga tahun sebagai bagian dari minoritas membawa kesadaran saya untuk berempati pada kelompok minoritas. Sebagai minoritas tentunya yang paling diharapkan adalah bagaimana kelompok mayoritas mengerti dan memberikan ruang bagi minoritas untuk menjalankan ritual yang diyakini. Saya membayangkan betapa sangat tidak enaknya ketika dosen saya tiba-tiba melarang saya untuk menggunakan pojok kelas buat sholat. Saya tentu sangat tertekan bila teman-teman saya atau orang disekitar saya melarang saya memakai jilbab.
Dengan pengalaman tersebut saya lebih terbuka dan lebih bisa mengulurkan tangan untuk kelompok-kelompok minoritas. Saya berteman dekat dengan seorang perempuan dari Jama’ah Ahmadiyah. Dia orang yang baik, pintar, taat beribadah dan sangat penolong. Saya tidak bisa membayangkan bila kawan baik saya ini berada dalam posisi yang tertekan atau bahkan dilukai oleh kelompok-kelompok yang menentang ahmadiyah. She is a part of my body, if someone hurts her, I feel the same. Saya juga memiliki teman-teman yang homo, mereka adalah pribadi-pribadi yang ramah, menyenangkan, pintar, suka menolong dan rajin beribadah. Saya tidak membayangkan bagaimana kalau mereka ini harus terdiskriminasikan, terkebiri hak-haknya, terluka perasaan dan tubuhnya. Saya percaya tidak ada manusia yang diciptakan sia-sia, lalu kenapa manusia lain mematikan mereka dengan sia-sia??
Dari tulisan panjang ini saya ingin menutup dengan ajakan untuk memahami sesuatu dengan memperhatikan prinsip maqashid alsyari`ah (memperhatikan tujuan inti syariat). Prinsip ini mengandung nilai-nilai keadilan (al-`adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (alrahmah), keragaman (al-ta`addudiyah), dan nilai-nilai hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah). Jadi soul dari melihat atau menanggapi masalah tetap tidak hilang. Bukankah Allah menciptakan perbedaan untuk saling belajar satu sama lain?.
Wallahu a’lam bishawab. In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh.