Lindungi Korban dengan UU Penghapusan Kekerasan Seksual
Ketiadaan hukum acara yang mengatur perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dapat menyebabkan viktimisasi terhadap korban.
MajalahKartini.co.id – Bertepatan dengan Womens March atau Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada hari ini, Rabu (8/11), salah satu tuntutannya adalah pengurangan kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, ketentuan hukum acara yang dirumuskan berangkat dari konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dengan tujuan mendekatkan akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan dan menjauhkan viktimisasi terhadap korban.
Menurut anggota DPR Komisi IX, Nihayatul Wafiroh saat ditemui MajalahKartini.co.id, persoalan RUU KS tersebut dinilai penting dan harus segera disahkan. “Seharusnya tahun ini sudah bisa menjadi UU, tetapi hingga saat ini prosesnya masih dibawa ke pemerintah setelah dibawa ke paripurna, RUU inisiatif disepakati di Rapat Pleno Badan Legislatif,” ujar Nihayatul yang juga pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini.
Sejumlah lembaga swadaya masyakat sudah mendorong agar Badan Musyawarah DPR RI menetapkan Panitia Khusus (Pansus) sebagai mekanisme pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Alasannya Karena materi muatan RUU ini tidak hanya bertalian erat dengan aspek hukum yang menjadi wilayah kerja Komisi III DPR RI, melainkan juga terkait dengan aspek perlindungan perempuan dan anak sebagai wilayah kerja Komisi VIII DPR RI, serta aspek pemulihan termasuk kesehatan sebagai wilayah kerja Komisi IX DPR RI, dan ditambah dengan tugas pemerintah daerah untuk mendukung upaya penghapusan kekerasan seksual, yang merupakan wilayah kerja Komisi II DPR RI.
Nihayatul menjelaskan mengapa soal kekerasan seksual harus jadi produk undang-undang sendiri tidak selesai di KUHP atau UU KDRT dan sejenisnya. “Nantinya UU tersebut akan menjawab soal perlindungan terhadap korban, bukan hanya soal pelaku. Bagian perlindungan secara materi dan non materi pihak korban,” ujar anggota Badan Legislatif DPR RI ini.
UU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan bisa menjawab persoalan trauma yang dialami oleh korban, maka dalam RUU perlu diatur makanisme pencegahan, perlindungan serta pemulihan. Upaya pencegahan yang dimaksud adalah segala upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan keberulangan kekerasan seksual. “Dalam RUU ini definisi lebih kompleks dan tidak tercantum di produk UU yang lain. Misalnya pelaku bukan hanya menerima hukuman penjara tetpi juga rehabilitasi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Nihayatul, identitas korban sangat dilindungi, termasuk juga keluara korban. Untuk itu, UU penghapusan kekerasan seksual harus segera ada, sebagai salah satu upaya perlindungan hukum yang bisa secara real meminimalisir dan menghentikan kasus kekerasan sessual. “Indonesia sudah darurat kekerasan seksual terhadap perempuan, edukasi ke masyarakat dan aparat penegak hukum harus dimaksimalkan,” tandasnya mengakhiri pembicaraan.