HRW Minta Pemerintah Hentikan Tes Keperawanan di Militer dan Kepolisian
Human Rights Watch menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera memerintahkan penghentian tes keperawanan yang ternyata masih dilakukan terhadap perempuan calon anggota di institusi militer dan kepolisian.
Presiden Jokowi bisa menghentikan tes keperawanan ini dengan meminta Menteri Koordinator Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan, Puan Maharani, untuk berbicara dengan Kapolri dan Panglima TNI, demikian pernyataan Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch kepada VOA Selasa (21/11) malam.
“Secara operasional Kapolri dan Panglima TNI yang berhak menghentikan praktek ini. Puan Maharani bisa mengundang menteri-menteri lain, termasuk menteri kesehatan, menteri pemberdayaan perempuan dan menteri dalam negeri, untuk menyatakan pandangan soal tes yang melanggar HAM, diskriminatif dan tidak ilmiah ini,” kata Andreas dalam pernyataannya.
Human Rights Watch melalui situs webnya pekan ini mengatakan telah mewawancarai para peserta perempuan yang mendaftar untuk menjadi polisi di enam kota dan telah menjalani tes keperawanan, dua diantaranya pada 2014.
Mereka yang “gagal” memang tidak langsung dikeluarkan, tetapi menggambarkan tes itu sebagai hal yang menyakitkan dan traumatis. Peserta yang menjalani tes itu telah menyampaikan isu tersebut kepada pejabat-pejabat senior, yang ketika itu mengklaim bahwa praktek itu telah dihentikan. Tetapi tes itu masih ada dalam daftar persyaratan bagi perempuan di situs resmi kepolisian dan beberapa sumber VOA mengatakan tes keperawanan masih terus dilakukan, walaupun sudah dilarang.
Polri sudah melarang tes keperawanan sejak 2006, kata Brigjen Polisi Purnawirawan Sri Rumiati kepada VOA.
“Waktu itu saya menjelaskan bahwa tugas pokok polisi adalah menegakkan hukum negara. UU No.7/1984 menegaskan bahwa negara harus menghapuskan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan, jadi wajib hukumnya bagi Polri untuk menegakkan aturan hukum ini,” ujar Sri. Ironisnya, menurut Sri, yang membuat aturan pemeriksaan kesehatan adalah dinas kedokteran, dengan alasan moral.
“Saya sampaikan bahwa semua polisi, baik laki-laki maupun perempuan harus baik. Jadi, jika perempuan diperiksa keperawanannya, laki-laki juga harus diperiksa keperjakaannya. Nah, karena tidak mungkin dilakukan untuk laki-laki, ya jangan dilakukan untuk perempuan!” tegas Sri.
Diskriminasi Paling Purba
Dalam wawancara melalui telepon, Sri mengakui bahwa dirinya mengetahui perasaan tidak nyaman dan traumatis yang dialami para calon polisi perempuan itu karena pernah menjalaninya.
“Saya menjalani pemeriksaan kesehatan semacam ini pada tahun 1984. Tentu tidak nyaman lah, wilayah privat kita diperiksa dengan cara demikian,” ujar Sri lirih.
Tes keperawanan yang dilakukan ini mencakup “tes dua jari” yang invasif, untuk menentukan apakah selaput dara calon polisi perempuan masih utuh atau tidak. Tes yang secara ilmiah tidak berdasar ini kabarnya digunakan untuk mengukur moral.
Nihayatul Wafiroh, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, yang dikenal kerap bersuara lantang pada isu-isu perempuan, menilai “tes keperawanan sebagai praktek yang melecehkan perempuan, melanggar hak perempuan dan tidak memiliki landasan hukum.”
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, yang menilai tes keperawanan itu sebagai diskriminasi paling purba karena melihat persoalan kehormatan perempuan hanya pada keperawanan semata.
“Kami sepakat bahwa seluruh manusia harus menjaga kehormatannya, tetapi menilai dari aspek keperawanan berarti mensimplifikasi persoalan,” kata Yuniyanti menegaskan.
“Temuan Komnas Perempuan, korban kekerasan seksual sangat massif, hal ini menyasar pada anak-anak dan bahkan bayi, kekerasan dalam masa pacaran juga tidak sedikit jumlahnya, penipuan atas nama perkawinan apalagi kawin siri dsbnya – juga tidak sedikit. Artinya bakal ada berapa banyak perempuan yang menjadi korban dari asumsi bahwa perempuan kehilangan keperawanan karena persoalan moral, padahal kebanyakan dari mereka adalah korban,” tukas Yuniyanti.
Usulan HRW Dapat Banyak Dukungan
Banyak pihak setuju dengan usulan Human Rights Watch agar Presiden Joko Widodo turun tangan menyelesaikan isu ini dengan memerintahkan penghentian tes keperawanan di militer dan kepolisian.
Nihayatul Wafiroh, yang duduk di Komisi IX DPR RI, mengatakan setuju karena ia menyayangkan ketidaktegasan banyak pihak untuk menghentikan pratek ini. “Beberapa tahun lalu saya menyampaikan kepada menteri kesehatan supaya mendesak kepolisian dan TNI menghentikan hal ini, tapi sampai sekarang belum juga berhenti.”
Pensiunan polisi, Sri Rumiati, bahkan mengusulkan kepada HRW membuat class action guna menghentikan praktik ini secara serentak di kepolisian dan TNI. “Sulit bagi perempuan di Polri dan TNI menyuarakan ketidakadilan ini. Terlalu mahal untuk mempertaruhkan karir mereka,” ujar mantan petinggi Polri ini.
Human Rights Watch mengatakan dengan mengakhiri tes keperawanan semacam ini, pemerintah Indonesia berarti mematuhi kewajiban HAM internasionalnya dan sekaligus menghormati tujuan Hari Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan Internasional yang diperingati setiap 25 November. Tema besar peringatan tahun ini adalah “leave no one behind : end violence against women dan girls.”
VOA telah berupaya menghubungi pihak kepolisian dan TNI untuk mendapatkan informasi tentang isu ini, tetapi belum mendapat tanggapan. [em]