Hari buruh internasional diperingati tepat pada 1 Mei. Buruh merupakan salah satu modal utama dalam memajukan perekonomian negara Indonesia. Tanpa adanya buruh segala macam perusahaan tidak akan berjalan lancar. Melalui peringatan Hari Buruh diharapkan muncul kesadaran baru dari berbagai pihak untuk memberikan perhatian terhadap kaum buruh, khususnya menyangkut tingkat keadilan sosial-ekonomi kaum buruh.
Karena itu, rasanya perlu direnungkan nasib kaum buruh perempuan dan laki-laki. Persoalan perburuhan yang sampai saat ini yang masih sangat kompleks. Tidak hanya terkait dengan upah buruh, gaji, tunjangan, outsourcing dan keadilan sosial bagi pekerja buruh, melainkan juga pada pemenuhan hak-hak reproduktif pekerja/buruh perempuan, misalnya cuti hamil, melahirkan, tidak hanya pada istri, tapi juga suami, dan cuti menstruasi.
Setidaknya ada beberapa masalah perburuhan nasional yang harus diselesaikan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, sebagai pemegang regulasi serta perusahaan-perusahaan di Indonesia, terkait dengan perhatian khusus terhadap hak-hak buruh perempuan.
Pertama, memberikan keringanan pada buruh perempuan ketika bekerja di Perusahaan yakni terkait dengan pemberian cuti haid atau menstruasi. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 pasal 81 ayat (1) mengatur bahwa pekerja wanita yang sedang menstruasi diizinkan tidak bekerja pada hari pertama dan kedua dan wajib memberitahukannya kepada manajemen perusahaan dan pasal 81 ayat (2) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan atau perjanjian kerja bersama.
Pertanyaannya adalah apakah pihak perusahaaan sudah menjalankan amanah undang-undang tersebut mengenai cuti haid pada buruh perempuan? Karena itu, pihak pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ketenagakerjaan juga harus ikut serta mengontrol perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab dan mengeksploitasi tenaga buruh perempuan tanpa bersandar pada undang-undang ketenagakerjaaan. Kebijakan apapun yang sudah tertulis dalam undang-undang sudah semestinya diamalkan lewat tindakan. Mekanisme kontrol dan pemberiaan punishment bagi perusahaan yang melanggar memang harus diperkuat.
Kedua, mengenai hak khusus buruh perempuan ketika hamil dan menyusui anak, hal ini telah dijelaskan dalam Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 3 berbicara tentang perlindungan kesehatan, bahwa perempuan hamil dan menyusui tidak harus melakukan pekerjaan yang telah ditentukan oleh penguasa berwenang yang merugikan kesehatan ibu dan anak atau di mana penilaian telah ditetapkan risiko signifikan bagi kesehatan ibu dan anaknya.
Dalam undang-undang perburuhan internasional telah jelas, akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan berbeda dari realitasnya, masih banyak buruh perempuan itu dituntut untuk bekerja oleh perusahaan ketika dalam kondisi hamil, hak reproduktif bagi buruh perempuan tentunya harus dihormati dan dihargai oleh perusahaan sesuai undang-undang yang ada dalam konvensi ILO.
Di samping itu, buruh perempuan yang bekerja kembali setelah cuti melahirkan berhak menduduki kembali posisinya dan mendapatkan upah yang sama sesuai dengan upah ketika sebelum cuti melahirkan. Dalam konvensi ILO No.183/2000 pasal 10, berisi tentang ibu menyusui, bahwa pekerja atau buruh perempuan yang sedang menyusui berhak menggunakan jam kerjanya untuk menyusui, minimal satu jam sehari dengan tetap mendapat upah. Karena itu, pengusaha pemilik perusahaan tetap membayar penuh upah bagi mereka yang dalam dua hari tidak bekerja dengan alasan sakit. Standar upah tertuang di dalam perjanjian kerja, maupun peraturan perusahaan.
Ketiga, buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Dalam pasal 82 ayat 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan yang menangani kasus keguguran tersebut. Seperti saat melahirkan, seorang pekerja pria/laki-laki juga memiliki hak cuti selama dua hari ketika istrinya mengalami keguguran. Karena itu, buruh perempuan ketika mengalami keguguran sudah semestinya mengajukan kepada manajemen perusahaan untuk mengambil cuti libur. Karena itu, pihak perusahaan harus memberikan hak-hak khusus pada buruh perempuan agar kesehatan dan keselamatan kerjanya tetap terjamin.
Keempat, upaya implementasi dan kewajiban dari perusahaan dalam memenuhi terhadap hak-hak reproduktif perempuan menjadi fokus pada hari buruh ini. Pengusaha harus mampu menegakkan hak-hak perempuan di sektor perusahaan bagi kaum buruh perempuan. Hal ini yang menjadi bagaimana ketika undang-undang perburuhan mampu diterapkan pengusaha terhadap buruh perempuan sampai saat ini. Pelaksanaan terhadap undang-undang Buruh Internasional dan undang-undang ketenagakerjaan ini yang belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pengusaha dalam memenuhi hak reproduksi buruh perempuan. Jika ada pengusaha tidak menjalankan amanah undang-undang ketenagakerjaan, maka pemerintah pusat harus memberikan sanksi/hukuman kepada pemiliki perusahaan yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu, pihak perusahaan harus menyadari betul terhadap buruh perempuan, terkait haid atau menstruasi, hamil dan menyusui serta keguguran kehamilan, maka perusahaan juga harus memberikan hak hak khusus perempuan, pihak perusahaan tidak boleh memutus hubungan kerja dengan buruh perempuan secara semena-mena berhubungan hak-hak reproduktif perempuan yang harus dijamin oleh perusahaan dan dihargai sesuai dengan kodrat perempuan. Perusahaan harus mengembalikan lagi wewenangnya bagi buruh perempuan untuk bekerja kembali, ketika buruh perempuan sudah mengambil libur, cuti yang disebabkan karena haid, hamil, menyusui dan keguguran kehamilan. Buruh perempuan harus dimuliakan pengusaha, tanpa buruh perempuan dunia perusahaan tidak akan berjalan secara baik.
Dengan demikian, pada peringatan Hari Buruh Internasional saat ini diharapkan dapat mengubah segala bentuk kebijakan pemerintah dan pengusaha untuk lebih pro-terhadap kepentingan buruh perempuan. Sudah waktunya pemerintah pusat, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengontrol, mengawasi pada perusahaan yang terkadang bersifat diskriminatif pada buruh perempuan.
Pengusaha pun wajib menjalankan undang-undang buruh Internasional dan undang-undang ketenagakerjaan nasional Indonesia, melainkan juga pengusaha memberi hak bagi buruh perempuan untuk mendapatkan kehidupan kesehatan dan keselamatan yang layak. Mereka juga manusia yang harus diberikan dan kesejahteraan dan kemakmuran untuk memperbaiki kualitas kehidupan buruh perempuan.[]