Bagaimana Kita Memperlakukan Diffable?


Sedang Membantu Risnawati menaiki tangga-tangga di Candi Prambanan dengan kursi rodanya

Hak mendengarkan khutbah Jumat adalah hak semua jama’ah yang datang ke masjid, untuk itu Masjid UIN Sunan Kalijaga menyediakan penerjemah saat khutbah untuk jama’ah yang tunarungu,” begitu bunyi salah satu berita di portal UIN Sunan Kalijaga.

Pernahkah membayangkan anak kita ada yang diffable? Diffable atau terkadang disebut disabilitas, ada juga yang menyebut dengan ABK/OBK (anak/orang Berkebutuhan Khusus) adalah memiliki arti orang-orang yang memiliki different ability (kemampuan yang berbeda). Saya lebih menyukai memilih kata diffable atau disabilitas dari pada cacat, karena bagi saya mereka tidak cacat mereka hanya memiliki kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan kebanyakan orang. Kemampuan berbeda ini tidak selalu berarti negatif, karena banyak hal mereka memiliki kemampuan lebih baik di banding dengan yang lain.

Bagi banyak orang tua tentu tidak bisa membayangkan memiliki anak yang diffable, namun bila kenyataan itu ada di depan mata, tentu tidak bisa lari. Pengalaman pertama saya berhubungan dengan diffable adalah dengan anak tetangga saya. Dia seorang tuna rungu dan tuna wicara. Kondisi rumah kami yang jauh dari kota dan juga kemampuan orang tua yang secara ekonomi sangat terbatas menjadikan anak ini tidak pernah mendapatkan pendidikan secara baik. Setiap hari aktivitasnya hanya jalan-jalan di sekitar area tempat kami tinggal. Kondisi dia yang secara fisik berbeda dengan kebanyakan orang menjadikan dia tidak bisa diterima dengan baik di lingkungan. Orang-orang mulai dari orang tua sampai yang kecil memilih memanggil dia dengan “auh” dari pada namanya. Panggilan “auh” disematkan pada dia merujuk dari suara yang selalu keluar dari mulut anak ini. Bahkan banyak orang tua menjadikan anak ini sebagai bahan untuk menakut-nakuti anak-anak mereka. “Awas kalau gak mau makan nanti Auh datang lho,” kata-kata seperti itu sering kali terdengar di daerah saya. Jadi ketika saya membiasakan anak-anak saya memanggil dia dengan nama aslinya dan membiasakan mereka untuk berjabat tangan atau bermain-main bersama dengan anak ini banyak orang yang kaget.

Secara personal saya mulai memiliki teman-teman dekat dari orang-orang diffable ketika saya sudah menginjak dewasa, tepatnya ketika mau melanjutkan studi master. Saya mendapat beasiswa dari International Fellowship Program (IFP) untuk master, dan dari 40 penerima beasiswa angkatan saya, ada dua orang yang diffable, Risnawati dan Joni Yudianto. Risnawati mulai memakai kursi roda ketika usianya menjelang 5 tahun. Dia divonis menderita polio dan saat itu pengobatan belum bagus, hingga dia mengalami persoalan dengan kakinya yang menjadikan dia harus menggunakan kursi roda. Sedangkan Joni Yudianto mengalami kebutaan sejak dia menginjak usia SD, pertama dia masih low vision (berkurangnya penglihatan), kemudian lambat laun dia tidak bisa melihat total.

Dua sahabat saya ini adalah orang-orang luar biasa. Mereka telah melanglang dunia untuk study di United Kingdom, United States, Singapore. Mereka juga aktif menjadi konsultan PBB untuk masalah diffable. Mereka juga menjadi lokomotif gerakan-gerakan sosial untuk membantu diffable, dan mereka juga melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mensupport peraturan-peraturan daerah yang ramah dan akomodatif kepada diffable. Dengan kata lain, secara intelektual dan aktivitas mereka luar biasa.

Dari merekalah saya belajar banyak hal, mulai bagaiman seharusnya kita mendorong kursi roda yang benar, baik ketika jalan menanjak, turun maupun datar. Saya juga belajar bagaimana seharusnya menemani berjalan orang yang buta dan bagaimana menerangkan lauk-lauk yang ada di piring untuk seseorang yang tidak bisa melihat. Dengan merekalah dan beberapa teman yang memiliki fokus yang sama akhirnya kami mendirikan perkumpulan Ohana (Organisasi Handicap Nusantara), yakni organisasi yang memfokuskan diri pada pendampingan bagi orang-orang diffable dan advokasi.

Sewaktu saya mengambil kelas di Boston University untuk program visiting scholar, salah satu teman sekelas saya adalah orang tunarungu dan tunawicara. Alih-alih dia mendapatkan diskriminasi, dia bahkan mendapatkan pendamping khusus yang disediakan oleh universitas. Kelas yang berlangsung selama satu jam dalam sekali pertemuan, dia didampingi dua orang penerjemah. Teman kami yang tunarungu ini akan duduk di deretan paling depan, dan di depannya akan berdiri penerjemah yang menerjemahkan setiap diskusi atau komunikasi yang berlangsung di dalam kelas. Penerjemah akan bergantian setiap 30 menit. Dari sini saya baru tahu bagaimana seharusnya menjadi seorang penerjemah. Mereka harus cepat menangkap dan menerjemahkan setiap pembicaraan yang ada di kelas. Di samping itu salah satu kunci keberhasilan menjadi penerjemah adalah ekspresi wajah ketika menerjemahkan. Terkadang bagi saya, melihat ekspresi penerjemah itu lebih menarik dari diskusi yang sedang berlangsung di kelas :D

Bagi saya, ini sesuatu yang luar biasa, bagaimana seharusnya pendidikan itu benar-benar tidak melakukan diskriminasi. Dan diskriminasi itu tidak hanya berdasarkan suku, agama, bahasa, gender dan kelas sosial tapi juga kondisi fisik. Mari kita lihat bersama, berapa banyak sekolah luar biasa (SLB) yang ada di sekitar kita? Berapa banyak universitas yang memberikan perhatian kepada diffable? setahu saya baru UIN Sunan Kalijaga, Univeristas Brawijaya dan Universitas Indonesia yang gencar memperbaiki pelayanan kepada mahasiswa  diffable. Pertanyaan terpenting adalah, bagaimana penerimaan masyarakat kita terhadap diffable?

Saya selalu percaya bila pendidikan adalah basis yang paling menentukan kualitas manusia. Dengan pendidikan yang baik, orang-orang berkebutuhan khusus ini bukan saja akan menjadi pribadi yang mandiri untuk kehidupannya, tapi juga menjadi penentu perubahan di masyarakat. Bila pendidikan yang memadai diberikan kepada diffable, saya yakin tetangga saya yang selalu dipanggil “auh” akan tumbuh menjadi orang yang cemerlang, tidak seperti sekarang yang di usianya hampir menginjak 20 tahun tidak bisa membaca dan hanya melakukan aktivitas yang tidak berarti.

Saya sendiri meyakini bahwa semua orang tidak ingin dilahirkan dalam kondisi seperti itu, jadi ini terjadi karena sifatnya “given” atau pemberian dari Allah. Nah, bila kita melakukan diskriminasi kepada mereka, bukahkah kita berarti juga mengolok-olok hasil ciptaan Allah?

Tulisan ini telah diterbitkan di Radar Banyuwangi pada Jumat 24 Januari 2014




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.