Bagaimana Kartini Abad ini ? : Refleksi atas Kesehatan Reproduksi
Tulisan ini pernah dimuat di Radar Banyuwangi pada bulan April 2013
Waktu saya masih duduk di Sekolah Dasar, ingatann saya tentang R.A. Kartini hanya dua hal. Pertama, perempuan pelopor emansipasi perempuan. Kedua, ketersiksaan saya yang harus memakai sanggul, kebaya dan sandal berhak agak tinggi. Beberapa tahun kemudian, saat saya sudah di universitas, saya membaca ulang sejarah Kartini dan juga kumpulan surat-suratnya di buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Pemikiran saya tentang Kartini bergeser, dari sekedar symbol kesadaran akan pendidikan menjadi korban dari dua persoalan, yakni perjodohan dan kesehatan reproduksi. Saat itu saya berpikir, bagaimana sering kali pendidikan kita mencoba menutupi kenyataan sejarah bahwa Kartini menikah pada umur yang muda, menjadi istri kedua dan meninggal ketika melahirkan bayi pertamanya. Namun saat itu saya belum berpikir tentang pentingnya mengangkat dua tema ini sebagai focus perhatian saya, baik secara akademik maupun gerakan.
Pada suatu pagi, saya melakukan perjalanan menggunakan bis ekonomi dari Jombang ke Surabaya. Ada seorang ibu dengan kondisi hamil tua, berdiri berdesakan dengan penumpang lain. Ketika saya tawari untuk duduk di tempat saya, beliau menolak, dia mau mengamen katanya. Apa yang ibu ini lakukan, bukan tanpa risiko. Kemampuan ekonomi sepertinya menjadi alasan utamanya melakukan hal ini. Selain itu, ada juga kemungkinan, dia tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang risiko dari aktivitasnya ini. Di Indonesia, kesehatan reproduksi tidak termasuk dalam jajaran penting dalam anggaran rumah tangga, terutama untuk keluarga menengah bawah. Kebutuhan untuk makan, dan sekolah untuk anak-anak mereka lebih penting daripada dana yang dialokasikan untuk kesehatan reproduksi. Selain itu, akses terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia sangat terbatas. Dalam satu desa, biasanya hanya ada satu pelayanan kesehatan, tetapi tidak semua desa memiliki layanan ini.
Seratus enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Januari 2010 saya kehilangan Tante saya karena eklamsia. Lima hari sebelumnya Tante saya ini melahirkan bayi perempuan –anak kelimanya- dan beliau tidak pernah sadarkan diri lagi setelah satu jam malahirkan hingga wafat. Saat itu kesadaran saya sebagai perempuan, dan sebagai orang yang memiliki pendidikan terasa digedor-gedor. Bagaimana mungkin orang yang sangat dekat dengan saya meninggal karena melahirkan ? Bukahkah salah satu tanggung jawab saya yang mendapatkan pendidikan tinggi dan setiap hari bergelut dengan dunia internet bisa mencari informasi tentang kesehatan reproduksi dan untuk kemudian membagikannya kepada orang lain ? Saya pun terpukur.
Indonesia hampir 68 tahun merdeka, namun persoalan tentang kesehatan reproduksi belum mendapatkan perhatian oleh pemerintah. Pada tahun 2011 Angka Kematian Ibu (AKI) masih terbilang tinggi, yakni sebesar 228/100.000 kelahiran hidup. Ini berarti dari setiap 100.000 kelahiran ada 228 ibu yang meninggal. Beberapa penyebab AKI tinggi diantaranya adalah komplikasi kehamilan, persalinan, atau ketika melahirkan tidak ditangani dengan baik. Laporan survei (SKRT 2001) menyatakan bahwa komplikasi yang menyebabkan kematian ibu yang paling tinggi adalah perdarahan, eklampsia, infeksi, partus lama, dan komplikasi keguguran. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 37 juta kelahiran terjadi di Asia Tenggara setiap tahun, sementara kematian ibu diperkirakan 170 ribu. Sebanyak 98% dari seluruh kematian ibu dan anak terjadi di India, Bangladesh, Indonesia, Nepal dan Myanmar. Memang, Indonesia adalah salah satu negara tertinggi menurut AKI. Selanjutnya angka kematian bayi usia 0-11 bulan (AKB) adalah 34 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian 60 persen penduduk hanya tamat SD atau lebih rendah, angka harapan hidup Indonesia sekitar 68/72 tahun.
Coba bandingkan dengan Iran yang bisa menekan angka kematian ibu melahirkan. Pada tahun 2010 saja AKI di Iran hanya 21/100.000. Tentu angka ini sangat jauh dibandingkan dengan di Indonesia. Lalu perbedaanya dimana antara Indonesia dan Iran ? Pemerintah Iran sangat menyadari pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi calon pengantin. Setiap orang yang akan menikah akan mendapatkan semacam pelatihan untuk calon pengantin laki-laki dan perempuan. Pelatihan ini memberikan penjelasan tentang kesehatan reproduksi, mulai bagaimana mengenali organ reproduksi, menjaga kesehatan reproduksi hingga mendeteksi beberapa penyakit yang berhubungan dengan organ reproduksi beserta cara pencegahannya. Dan yang tidak kalah penting adalah pemeriksaan secara menyeluruh terhadap organ reproduksi. Bila ditemukan salah satu calon pengantin memiliki penyakit di organ reproduksi, maka pernikahan harus ditunda hingga penyakitnya sembuh. Dengan metode tersebut setiap pasangan yang menikah telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang kesehatan reproduksi dan hal inilah yang menjadi salah satu penyebab AKI di Iran rendah.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang sudah dilakukan oleh Kartini-kartini abad ini untuk memperhatikan pendidikan kesehatan reproduksi? Pengalaman saya kehilangan Tante karena melahirkan membawa saya pada suatu titik kesadaran bahwa sebagai orang muda sudah seharusnya saya dan juga perempuan-perempuan lainnya meletakkan perhatian terhadap kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi tidak melulu mengenai seksualitas, tapi ini berkaitan erat dengan keberlanjutan generasi mendatang. Pengetahuan akan kesehatan reproduksi tidak hanya dibutuhkan oleh Ibu-ibu yang sudah sexual active atau Ibu yang akan dan sudah memiliki anak saja, tapi kebutuhan informasi ini juga untuk remaja, baik yang perempuan dan laki-laki. Bukankah organ reproduksi dimiliki oleh laki-laki dan perempuan ?.
Akses kesehatan yang baik dan terjangkau juga harus diberikan oleh Pemerintah. Andil pemerintah sebagai pihak yang memegang decision maker harus dimaksimalkan dalam usaha untuk menyelamatkan ibu-ibu yang melahirkan dan juga bayi-bayi yang akan menjadi masa depan bangsa Indonesia.
Terahir, Kartini yang merupakan symbol dari emansipasi perempuan harus menyerah terhadap kondisi persalinan yang tidak memadai, apakah kita akan merelakan Kartini-Kartini abad ini juga mengalami hal yang sama? Mari bergerak untuk kondisi yang lebih baik. Selamat Hari Kartini