Abdullah nama ayahnya, Aminah Ibundanya
Abdul Muthalib kakeknya, Abu Thalib pamannya
Khadijah istri setia. Fatimah putri tercinta
Semua bernasab mulia, dari Quraisy namanya
Inilah kisah sang Rasul yang penuh suka duka
Di atas adalah kutipan lirik lagu Rohatil Athyaru Tasydud (Kisah Sang Rasul) yang dipopulerkan oleh Habib Syekh. Lagu ini sangat populer di kalangan anak-anak. Suatu ketika, anak saya bertanya: “Bu, lalu siapa nama nenek Nabi Muhammad?” Atas pertanyaan tersebut, saya benar-benar kaget dan tidak bisa menjawab. Dalam lirik lagu ini, disebutkanlah nama Ayah dan Bunda Nabi Muhammad, nama Istri dan Anak Nabi Muhammad. Namun mengapa nama Kakek disandingkan dengan nama paman, bukan nama nenek Nabi Muhammad? Terus kemana nama nenek Nabi Muhammad? Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan lirik lagu tersebut. Mungkin karena tuntutan ritme, syair—atau apapun namanya—sehingga nama nenek memang tidak perlu disebut. Namun, setidaknya, dengan lead lirik lagu tersebut, tulisan ini mengajak kembali untuk membangkitkan kesadaran kritis gender kita.
***
Dalam sejarah Islam, perempuan-perempuan banyak yang tidak terliput. Mereka justru terliput pada masa-masa awal kehidupan Rasulullah Saw. Beberapa di antara mereka adalah perawi hadis, ada juga yang—pada saat itu—menyampaikan persoalan sehari-hari kepada Rasulullah, sehingga namanya diabadikan dalam hadis-hadis atau tarikh. Namun setelah itu—pada masa Umaiyah dan Abbasiyah—peran perempuan semakit tidak terliput. Seandainyapun ada, itu tidak banyak dan biasanya hanya dihubungkan dengan peran-peran yang biasa (permaisuri, hurem dll).
Keterlibatan perempuan—baik di depan layar maupun di balik layar—harus diakui keberadaannnya dan jangan sampai ditutupi sehingga tidak terliput. Ini merupakan bagian penting dari aktualisasi perjuangan nilai-nilai kesetaraan gender. Dalam konteks ini—betapapun banyaknya persoalan bangsa yang mendesak untuk dibahas—jangan sekali-kali melupakan perempuan. Karena sampai sekarang—diakui atau tidak—perempuan masih dipandang sebelah mata atau diperlakukan tidak adil.
Momentum Muktamar NU ke-33 yang digelar di Jombang, 1-5 Agustus 2015 ini tentu tidak bisa melewatkan begitu saja persoalan perempuan ini. Menariknya lagi, beberapa hari sebelum Muktamar dimulai, 50 ribu lebih jamaah perempuan Nahdliyyin (Fatayat, Muslimat, IPPNU) melantunkan tahlil dan doa bersama demi suksesnya acara Muktamar NU ke-33 ini. Tentu ini menyiratkan betapa pentingnya perempuan dan betapa perlunya pembahasan tentang persoalan perempuan yang masih tersisa banyak.
Sebagaimana yang dilansir oleh berbagai media, bahwa isu-isu yang akan dibawah dalam Muktamar NU ke-33 ini dibagi kedalam tiga kategori, yakni Mau’dlu’iyah (tematik), Waqi’iyyah (kekinian) dan Qonuniyyah (perundang-undangan).
Permasalahan yang termasuk dalam kelompok tematik adalah antara lain Manhaj Istinbath, Khasais Aswaja, pemberian ampunan (grasi, amnesti dan abolisi) serta keputusan hakin dan kepastian hukum.
Sedangkan yang termasuk persoalan kekinian adalah hukum mengingkari janji bagi pemimpin atau pemerintah, BPJS, penggelaman kapal asing, pemakzulan pemimpin, advokat, eksploitasi alam secara berlebihan, alih fungsi lahan.
Sedangkan yang termasuk persoalan perundang-undangan adalah antara lain perlindungan terhadap TKI, UU perlindungan umat beragama, hutang luar negeri, dan pemberlakukan pasar bebas.
Dari tema-tema tersebut, belum terlihat pembahasan tentang persoalan perempuan. Bagaimana mungkin perempuan yang mendoakan akan kesuksesan Muktamar malah dilupakan? Oleh sebab itu tidak heran apabila Kelompok Gerakan Perempuan NU mendesak agar sidang Pleno Muktamar NU juga membahas kejahatan seks terhadap perempuan dan anak (1/8).
Ide-ide ini tentu harus diapresiasi mengingat betapa masih banyak kasus-kasus kekerasan seks terhadap perempuan dan anak. Dan mengingat pula, belum adanya gerakan perlawanan yang terstruktur atas persoalan ini. Bahkan pemerintah sendiri belum bisa memberikan dan menjamin rasa aman bagi perempuan dan anak. Tentu, ini bisa masuk dalam kategori persoalan Waqi’iyyah pertama isu perempuan dan anak untuk dibahas.
Komisi Nasional Perempuan sudah dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia kini dalam kondisi Darurat Kekerasan terhadap Perempuan. Data Komnas Perempuan di tahun 2014 menunjukkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 293.220. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2013 sebanyak 279.688 kasus.
Malah sejak tahun 2010, angka ini selalu menunjukkan trend yang meningkat, termasuk di dalamnya kasus tes keperawanan polisi, larangan adopsi, dan kasus pekerja migran. Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melansir bahwa setiap tahun terjadi 3.700 kasus kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual. Tentu, tulisan ini sangat terbatas untuk menyebutkan secara detail kasus per kasus. Namun intinya adalah agenda untuk memperjuangkan hak- hak perempuan dan anak harus diperhatikan dan disusun secara terstruktur.
Kedua, terkait dengan Qanuniyyah yang bersinggungan dengan perempuan dan anak yang harus terus menerus disuarakan dan diperjuangkan adalah RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan RUU Pengasuhan Anak yang sampai sekarang disahkan. RUU KKG merupakan salah satu upaya untuk mengatasi berbagai persoalan ketidakadilan gender di Indonesia. Begitu juga dengan RUU Pengasuhan Anak, yang melindungi hak-hak anak Indonesia yang kelak akan memimpin bangsa ini.
Ketiga, pola kaderisasi perempuan yang terukur dan bertarget. NU memiliki Badan Otonom yang terkait dengan anggota-anggota perempuannya, seperti IPPNU (Ikatan Pelajar Putri NU), Fatayat dan Muslimat. Badan-badan ini merupakan kantong-kantong kader perempuan NU yang seharusnya melahirkan para pemimpin perempuan, yang seharusnya melahirkan perempuan bangsa. Perempuan- perempuan NU yang “tampil”masih terhitung minim bila dibandingkan dengan umur NU itu sendiri, yang hampir satu abad ini. Oleh sebab itu, membincang pola dan strategi kaderisasi perempuan NU yang terukur dan bertarget menjadi sangat penting. Tema ini bisa masuk dalam kategori Maudlu’iyyah (tematik).
Walhasil, ketiga hal tersebut menjadi agenda penting yang harus disuarakan dalam muktamar. Jangan sampai kalah dengan isu-isu yang lainnya. Dan mudah-mudahan tulisan ini tidak terlambat untuk dibaca para mukmamirin.